Atasi Kasus TBC, Dinkes Kab Bandung Bersama Komunitas Penabulu STPI IU Gelar Rapat koordinasi Lintas Sektoral 

KAB. BANDUNG | BBCOM | Untuk mengatasi kenaikan kasus tuberkulosis (TBC) di wilayah Kabupaten Bandung, 

 Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung bersama Komunitas Penabulu STPI IU Kabupaten Bandung, menggelar rapat koordinasi lintas sektoral di salah satu hotel di Soreang, pada (2/10/ 2023).

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Bandung, Sumiarso menyebut tingginya angka temuan kasus TBC di Kabupaten Bandung mengindikasikan kinerja petugas kesehatan di semua lini bekerja dengan aktif. 

Hal ini, tambahnya, dibantu dengan sinergitas Dinkes dan Konsorsium Penabulu STPI yang mampu memaksimalkan temuan kasus TBC di tengah masyarakat.

“Penyakit menular tersebut saat ini menjadi perhatian pemerintah dan sejumlah pihak. Pasalnya, jika melihat secara makro, maka kasus Tuberkulosis atau TBC di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan,” tutur Sumiarso dalam keterangannya di Soreang,pada Kamis (5  /20/2023).

Sumiarso melanjutkan, Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar kedua terkait kasus TBC.

Berdasarkan data Dinkes, tambahnya, temuan kasus TBC di Kabupaten Bandung selama 3 tahun terakhir mengalami kenaikan yang signifikan.

“Sejak Januari hingga September 2023, sudah ditemukan 117.823 jumlah kasus terduga,” bebernya.

Sedangkan untuk kasus TBC anak di Kabupaten Bandung dalam satu tahun terakhir yakni hingga September 2023, mengalami penurunan 2.582 kasus.

“Secara signifikan dari tahun 2022, kasus TB anak angka mencapai 3.321,” tutur Sumiarso.

Mengingat tingginya temuan kasus TBC di Kabupaten Bandung, ia menekankan upaya pengobatan atau penanganan secara berjenjang.

Karena itu, pihaknya menggratiskan seluruh biaya penanganan pasien sebagai bukti keseriusan dalam menekan angka kasus TBC di Kabupaten Bandung.

“Terkait biaya penanganan pasien penyakit TB, semuanya gratis, mulai dari pemeriksaan hingga pengobatan sampai sembuh,” imbuh Sumiarso.

Hal senada disampaikan Dr Zakaria Ansyori yang turut hadir dalam agenda tersebut. Ia menekankan bahwa penanganan kasus TBC membutuhkan kolaborasi solid dengan berbagai pihak terkait.

“Hal ini mulai dari sektor pemerintahan sampai dengan swasta. Dimana keduanya butuh kerja sama yang baik serta adanya dukungan kebijakan atau dukungan materi karena selama ini kader tidak mempunyai jaminan kesehatan atau BPJS,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Supervisor Dinkes Kabupaten Bandung, Syafni menambahkan, tingginya angka temuan TBC terjadi karena banyak faktor. 

Sebagai informasi, kasus TBC di tahun 2022 mencapai angka 1.080. Sementara sejak Januari hingga September 2023, kasus TBC sudah menyentuh angka 7.608.

Menurut Syafni, salah satu faktor yang mengakibatkan kenaikan kasus TBC adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan penyakit ini.

“Masyarakat masih menganggap TB sebagai penyakit yang biasa. Padahal, penanganan TB yang sensitif minimal enam bulan,” jelasnya.

Ia melanjutkan, ketika terjadi resistensi obat (RO) pada pasien TBC, waktu penanganan bisa bertambah menjadi 9 hingga 22 bulan.

Ia menyayangkan ketidaksadaran masyarakat dan pemangku kebijakan terkait TBC yang menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia.

Karenanya Syafni berharap, kesadaran masyarakat akan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) dapat terbentuk untuk mengeliminasi kasus TBC.

“Sejauh ini, petugas kesehatan dibantu kader-kader kinerjanya sudah bagus. Justru kalau angka temuan kasusnya sedikit, patut dipertanyakan kinerjanya,” katanya.

Sementara itu, Kabid P2P Dinkes Provinsi Jawa Barat, Rochady Hendra Setya Wibawa menyampaikan bahwa kasus TBC di Kabupaten Bandung menduduki peringkat ke-2 di Jawa Barat.

Rochady menegaskan, semua fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) wajib terlibat dalam jejaring District-Based Public-Private Mix (DPPM) dengan melaporkan hasil kegiatan layanan TBC yang ditetapkan dan keterlibatan pemangku kebijakan.

Adapun pengobatan bagi pasien yang mempunyai BPJS namun tidak bisa dipakai atau menunggak, tambahnya, maka diarahkan untuk menggunakan SKTM yang ditandatangani oleh Kepala Desa atau Camat. 

Dalam sistem pengobatan TBC, menurutnya tidak boleh berhenti dan harus sampai tuntas 6 bulan.

Jika tidak tuntas, sambung Rochady, tentunya sangat berbahaya karena kemungkinan pasien dapat  menjadi resisten terhadap obat. 

“Jika yang sensitif obat hanya 3 butir per hari selama 6 bulan, maka yang resisten obat bisa 18 butir per hari selama 9 bulan bahkan 22 bulan. Baik pengobatan TB RO atau TB SO Timbulya LTFU akibat ketidakpahaman terkait dengan pengobatan karena efek samping dari minum obat sangat luar biasa, sehingga pendampingan dari keluarga sangat penting,” paparnya.

Dalam penanganan kasus ini, pihaknya berharap media juga ikut berpartisipasi mensosialisasikan program-program pemerintah dalam penurunan angka kematian dan kasus TBC.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *