Bersamamu Ibu, Kau yang Tak Kenal Lelah

Tidakkah kau lelah bu?

Tanpa rasa takut kau pertaruhkan nyawamu saat melahirkan anak pertamamu yang bernama Fahjie Prasetyo. Selama sembilan bulan lamanya kau telah mengandungnya untuk menanti sang buah hati tercinta lahir. Sudah 3 kali kau pertaruhkan seluruh ragamu dengan kemampuan hati kasih sayangmu untuk melahirkan ketiga anakmu ke dunia ini. Kesakitan yang kau alami seakan berubah menjadi bahagia saat anak pertamamu hadir disamping pelukan eratmu.

Anak-anakmu sangat bangga mempunyai ibu sepertimu. Dirimu bukan hanya membimbing tetapi juga membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

Rasa lelahmu pun tak kunjung usai ketika anak pertamamu mulai meranjak dewasa. Kenakalan demi kenalan telah dilakukan oleh anak pertamamu. Namun kau selalu memaafkannya walaupun berulang-ulang membuat kesalahan.

Tiada henti-hentinya kau mengingatkannya atas segala sesuatu yang kau khawatirkan terhadap anakmu. Kau larang-larang anakmu, padahal itu demi kebaikannya. Namun Dengan segala keegoisannya, anak pertamamu telah membuat hatimu terluka atas ucapannya yang terkadang tak sabar menghadapi celotehanmu bu. maafkan anakmu itu, ibu.

Walau terkadang celotehan yang diluapkanmu membuat anakmu kesal dan marah. Namun dibalik celotehanmu itu, dirimu menyimpan perhatian dan peduli yang besar terhadap anakmu. Amarahmu bukan luapan kebencian, melainkan kasih sayang agar anakmu tetap menjadi anak yang berbakti dan berbudi pekerti.

Kau kuat akan masalah

Masalah demi masalah datang kepadamu. Mulai dari permasalahan ekonomi hingga permasalahan keluarga yang menimpa dirimu dan keluargamu. Tetapi Kini kau menjalaninya dengan ikhlas, tabah, dan sabar. Kau masih setia menjaga anak-anakmu walaupun terkadang tanpa ditemani seorang suami.

Hanya kau seorang yang menafkahi ketiga anakmu dengan hasil jerih payahmu. Kau menawarkan jasa urut-pijat bagi siapapun tetangga disekitarmu disaat tetanggamu membutuhkanmu.

Dengan ketukan disetiap pintu, kau juga tawarkan jasa cuci baju–setrika ke tetangga disekitar rumahmu sambil mengucap “Asalamualaikum, permisi bu, mau cuci baju–setrika gak bu?” Tidak setiap ketukan, tetanggamu membutuhkanmu, namun kau tetap telusuri pintu demi pintu agar dirimu mendapatkan baju kotor agar bisa menghasilkan uang.

Anak pertamamu yang belum bisa mencari uang–masih berjuang dalam bangku perkuliahan–berniat ingin memberikan kebahagiaan untukmu. Namun nyatanya sampai saat ini belum tercapai. Justru dirimu yang masih kokoh berjuang memberikan penuh kebahagiaan serta kasih sayang kepada anak-anakmu.

Kau ajarkan anak-anakmu untuk bangkit dari sebuah permasalahan, karena kau yakin sekali bahwa Allah pasti akan selalu bersamamu dan melindungimu serta anak-anakmu. Kau selalu memotivasi anak-anakmu untuk harus selalu bersyukur dan bangkit dari sesulit apapun keadaan tersebut. Karena kau mengatakan bahwa hidup itu ‘Bangkit untuk bertahan atau diam untuk gugur.’

Tanpa mengenal rasa bosan dan lelah untuk selalu mengingatkan dan menasihati anak pertamamu di kala dirinya mengalami sebuah ketidakpercayaan diri terhadap kehidupannya. Tanpa pernah mengeluh lelah sedikit pun kau ajarkan anakmu arti kesabaran, ketabahan, keikhlasan, serta ketulusan hidup.

Kau tidak akan pernah dan tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun. Kau harta paling berharga yang tak bisa ternilai dan tak bisa terbalaskan dengan hal apapun.

Harapan anak pertamamu

Rasa ego dan gengsi anakmu yang semakin besar, membuatnya tak berani mengungkapkan apa yang ingin anakmu ungkapkan. Bahwa sebenarnya anakmu menyayangi, merindukan, serta membutuhkanmu di setiap kehidupannya. Bukan sekadar sebagai ibu, tetapi juga sebagai teman bertukar cerita akan sesuatu hal kisah tentang senang dan duka.

Anak pertamamu akan memperjuangkan kebahagiaanmu dengan cara yang dimilikinya. Agar kau bisa menikmati masa tuamu dengan indah dan terjauh dari masalah dan musibah apa pun itu yang akan menimpamu lagi.

Anak pertamamu sangat berharap kepada Allah bahwa anakmu meminta diberikan kesempatan waktu untuk mewujudkan keinginannya membahagiakanmu sebelum ajal memisahkan dirimu dengan anak pertamamu itu.

Terimakasih dari anak pertamamu atas berkat semua perjuanganmu itu bu.

Anak pertamamu sangat mencintaimu. Fahjie Prasetyo, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta–Jurusan Jurnalistik

Respon (6)

  1. Seriusan ini menggunakan titik pandang orang ke dua ya kan?

    Akhirnya saya mencari referensi buat tugas sekolah saya. Terimakasih udah buat artikel ini, btw ini nyentuh banget, secara tidak langsung ini penulis menceritakan dirinya terhadap ibunya tapi dengan gaya seperti ini, wah banget sih ini👍

  2. Sungguh sangat menyentuh. Terimakasih untuk ibu dan semangat untuk anak yang ingin membahagiakan orang tua nya

  3. Aku terharu baca artikel ini… Terimakasih untuk Fahjie yang sudah menulis artikel tentang “IBU”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *