Diriku terbujur kaku di sudut kamar yang ditempati oleh sepasang suami isteri yang tengah terlelap. Mereka kedua orangtuaku. Kudekati, dan kupandangi raut wajahnya yang kian menua, kuselimuti badannya yang mulai renta, dan kukecup keningnya yang sudah mulai berkerut. Seketika hatiku bergetar, mengingat semua pengorbanan yang mereka lakukan untukku.

Aku adalah anak sulung dari sepasang suami isteri yang tampan dan cantik, Oktovialdi dan Susi Sumaryani. Bukan melebih-lebihkan, aku buah hati mereka, layak sajaku memujinya.
Setiap manusia pasti memiliki panutan hidupnya untuk mereka tiru. Akupun, panutan ku adalah orangtuaku. entah se-‘klasik’ apa kata-kataku barusan tapi memang itu adanya. Mereka adalah sosok yang patut dibanggakan bagiku.
Entah seberapa penat yang ayah rasakan ketika harus berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Mengeluh?tak pernah kudengar kalimat-kalimat keluhan dari bibirnya. Banting tulang untuk menghidupi dan membahagiakan keluarga ini adalah impian ayah. Itulah yang membuatku bangga, sekaligus sedih.
Bukan sedih karena memiliki ayah yang pekerja keras. Tetapi sedih karena ku sendiri tidak bisa berbuat banyak untuk membantu ayah. Jangankan untuk menghasilkan uang, untuk mencukupi sendiriku sendiri saja tidak mampu dan harus meminta uang lagi.
Ayah tidak hanya bekerja disatu tempat, itu yang menjadikan ia harus pulang hingga larut malam. Ia harus mengajar, melatih murid-muridnya dan menempuh perjalanan jauh hingga memerlukan waktu hingga seharian lamanya diluar rumah.
Aku bisa dibilang adalah anak yang manja. Hingga aku beranjak dewasa, bunda selalu menjadi tamengku . Aku bisa selalu bangkit dari keterpurukan masalahku selama hidup dengan bantuan bunda, dari segi apapun. Entah materi, entah sekolah maupun masalah di lingkunganku sendiri.
Bunda selalu bisa menjadi orang yang aku datangi, dan dengan caranya sendiri, ia dapat mendorongku untuk melakukan hal-hal baru agar aku lebih banyak memiliki pengalaman. Bila pengalaman itu baik untukku, ia tersenyum. Bila pengalaman itu buruk untukku, ia pun tersenyum dan menyandarkan kepalaku ke bahunya, lalu memotivasiku untuk bangkit.
Ayah dan bunda bukanlah sepasang insan muda, tubuh mereka mulai renta, kerutan diwajahnya terlihat tegas, serta rambutnya yang mulai bergradasi menjadi putih. Tetapi, itu bukan halangan bagi mereka untuk selalu tetap kuat bagi anak-anaknya.
Bagaimanapun, apapun sulitnya kondisi keluarga, orangtuaku selalu tetap tegar dan kuat dengan berbagai cara, agar aku dan adik-adikku tidak terpengaruhi oleh beban keluarga. Tapi bagiku, saat itulah aku merasa sangat lemah. Maaf ayah, bunda, aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk kalian. Tapi aku janji, aku akan selalu membuat kalian tersenyum dengan caraku. ( Gita Viryani )