Habis Bapak Terbitlah Abang

Panas yang kurasa di tiap langkahku sejak keluar dari Stasiun Palmerah hingga berada di depan gerbang Bentara Budaya, tidak seberapa bila dibandingkan dengan panasnya air mata yang kutahan sekarang. Niat awal hanya ingin menunaikan tugas resensi pameran foto dari dosen fotografiku, justru berujung sendu. Ini Ayah Hebatku, begitu lah nama pameran fotonya. Aku menatap spanduk yang ada di depan gerbang Bentara Budaya dengan datar. Sangat bertolak belakang dengan nasibku.

Kulanjutkan langkahku ke dalam. Kesan pertama saat memasuki ruang pameran, biasa saja. Begitu aku keliling memperhatikan tiap bingkai foto yang menangkap momen bahagia ayah dan anak-anaknya, baru terasa ada yang ingin memberontak dari dalam diriku. Melihat guratan senyum di wajah-wajah asing itu terasa sangat hangat. Hal itu spontan membuat otakku bekerja untuk mencari momen menyenangkan bersama Bapak. Nihil. Detik itu juga aku merasa menjadi anak paling menyedihkan yang ada di ruangan pameran foto.

Pikiranku dilempar jauh ke tahun 2013, pada saat keributan terbesar terjadi di hidupku. Tidak, tidak ada yang terluka secara fisik pada saat itu. Tidak pula ada bentakan. Yang ada hanya tangis dari mulut Ibu, Bapak, dan aku. Namun ada satu orang yang tidak menangis, abangku. Aku biasa memanggilnya Mas Odi. Satu-satunya saudara kandung yang kumiliki. Sosok yang akan selalu membuatku bersyukur kepada tuhan telah menghadirkan dia dihidupku. Bukan berarti aku tidak sayang Ibu. Hanya saja keberadaan abangku sudah mengisi figur ayah yang sempat kosong.

Keakraban kami baru benar-benar kurasakan sejak pisahnya Ibu dan Bapak. Saat kecil kami tentu sering bertengkar – apalagi karena kira berbeda gender – meskipun  hanya pada hal-hal sepele. Namun ada satu cerita ibu yang sampai sekarang masih suka ibu ceritakan dan selalu membuatku tersenyum geli,”Kalo liat Tia sama Mas Odi ribut jadi inget pas kecil Tia maunya disisirin sama Mas Odi doang. Terus abangnya nurut aja lagi mau nyisirin.”

Saatku bilang aku baru merasa akrab dengan Mas Odi saat Ibu dan Bapak berpisah, itu hanya kebutaan sesaat. Mungkin karena aku merasa semenjak Bapak tidak ada kami jadi lebih sering lempar ide, curhat, dan berbagi musik kesukaan. Padahal setelah aku masuk lebih dalam ke ingatanku, sejak SD sampai sekarang Kuliah aku sangat jarang cerita tentang teman lelaki ke Ibu. Mas Odi lah yang selalu menampung ceritaku.

Sebenarnya masih banyak hal soal abangku ini yang bisa diceritakan. Salah satu yang sering kuceritakan pada temanku adalah saat Mas Odi masih SD dan aku masih TK. Sore itu dia baru pulang dari bermain di pinggir got belakang komplek. Saat itu masih tahun 2004 got itu masih jernih, belum tercemar padatnya pendatang yang hadir ke Bekasi. Singkatnya ia pulang membawa yuyu atau kepiting kecil untukku. “Buat Tia piara,” katanya.

“Aaaa lucu banget deh Ti,” ujar teman-teman SMA-ku saat mendengar cerita tadi. Aku sempat tidak menduga respon mereka akan seperti itu. Kupikir itu cerita biasa, karena memang seperti itu lah seharusnya seorang kakak berlaku ke adik. Tapi pikiranku ini lenyap seiring temanku, Titis, melanjutkan responnya,”Gua juga mau deh punya abang yang fun. Abang gua serius banget soalnya.” Benar-benar diluar dugaanku. Mungkin aku selama ini terlalu kacamata kuda soal keharusan perilaku seorang kakak terhadap adik.

Ucapan Titis tadi muncul kembali di kepalaku yang sudah duduk dibangku kuliah ini. Saat itu aku hanya tiduran menatap langit-langit kamar kos. Suara Titis dan suara Mas Odi beberapa menit yang lalu lewat telepon, saling bersahutan di kepalaku. Ya semenjak aku kuliah di Depok, aku memutuskan untuk ngekos. Sejak itu aku jadi jarang komunikasi dengan Mas Odi karena aku pulang ke Bekasi hanya Sabtu dan Minggu.

“Yaudah dek, sorry gue ganggu lu nugas,” percakapan lewat telepon pun berakhir begitu saja. Kalimat terakhir itu membuatku tersadar, selama abangku berkeluh kesah aku cenderung merespon ketus merasa terganggu. Pada detik itulah ucapan teman-teman lamaku yang ingin punya abang pengertian, lucu, dan sebagainya terlintas di pikiranku. Suara-suara mereka seperti berbisik halus dan berhasil membuat air mataku runtuh dari tempat persembunyiannya. Dengan segera ku mengirim pesan lewat whatsapp ke abangku untuk memberi kata-kata yang seharusnya kukatakan sejak di telepon tadi.

Tak lama aku tersadar. Aku masih berdiri di tempat yang sama memandang salah satu foto seorang ayah yang bermain air dengan anaknya. Ternyata daritadi aku melamun dan tidak sadar pipiku sudah cukup lembab karena air mataku jatuh tanpa permisi selama lamunanku tadi.

Kini kutahu apa yang membuat kenangan dengan Mas Odi lebih banyak diingat daripada kenangan bersama Bapak. Selama aku tinggal dengan Bapak, beliau hanya memberiku uang jajan dan makanan. Sedangkan bersama Mas Odi, dia memberiku tawa, tangis, cerita, dan momen. Ini yang membuatku semakin yakin, bahwa hubungan batin yang akrab akan terbentuk seiring adanya komunikasi yang baik, bukan dijejali uang. Perginya Bapak membuatku semakin dekat dengan satu-satunya saudara kandungku. Aku mendefinisikan kejadian ini dengan membuat ungkapan sendiri. Ungkapan itu adalah habis Bapak terbitlah abang, plesetan dari Habis Gelap Terbitlah Terang. (Tia Astuti, Politeknik Negeri Jakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *