Bumerang Media Sosial

Foto Ilustrasi Media Sosial youtube

Dulu momen dinikmati, sekarang dipublikasi. Dulu candaan diketawai, sekarang masuk insta-story. Media sosial telah jadi jati diri, bagi mereka yang memang hobi. Bahkan sudah jadi ladang mencari sesuap nasi, dengan posting sana-sini. Gawai tidak lagi hanya untuk berinteraksi, sudah jadi bukti eksistensi diri. Media sosial menjadi ruang berekspresi, yang menimbulkan potensi untuk depresi.

Seorang mahasiswi berusia 20 tahun merasakan manis-pahitnya unjuk diri. Dia mampu mengetahui informasi dari berbagai belahan dunia melalui gawai. Bahkan melakukan diskusi akan topik terhangat dengan temannya di luar negeri tidak lagi terbatasi. Namun rasa resah ‘tak dapat ia hindari saat berlama-lama larut di media sosial. Kesempurnaan kehidupan orang lain selalu membuatnya sedih. Hingga muncul suara di kepalanya bahwa ia memiliki kehidupan menyedihkan.

Bersolek diri telah menjadi sebuah hobi baginya sejak lulus SMA. Mulai dari lingkungan pertemanan yang mengedepankan penampilan, segala usaha mempercantik diri ia lakukan. Sebelum media sosial, yang ia khawatirkan hanyalah teman datang terlambat yang berujung habisnya waktu untuk merias diri. Setelah media sosial, banyak cara untuknya meningkatkan kemampuan merias wajah. Produk rias berkualitas tinggi ia dapatkan dengan mudah, inspirasi tata rias untuk ragam acara pun ia ketahui hanya dengan mengetukkan jari di gawai.

Mencari inspirasi, lalu terhantui bayang-bayang diri sendiri. Bagaikan bumerang, orang yang dijadikannya inspirasi justru jadi pengingat sedihnya kehidupan yang ia miliki. Membandingkan segala aspek kehidupannya dengan akun dunia maya milik orang lain membuatnya selalu merasa kurang. Di titik jenuh itulah pertanda baginya untuk rehat sejenak dari dunia maya.

Citra diri yang ia khawatirkan menjadi potensi depresi karena media sosial. Menurut laporan dengan judul Heavy social media use linked to depression in young teens mengungkapkan bahwa perempuan yang menggunakan media sosial 50 persen lebih berisiko terkena depresi daripada laki-laki yang hanya 35 persen. Yvonne Kelly, profesor epidemiologi dan kesehatan masyarakat di University College London, Inggris, mengemukakan bahwa terdapat empat potensi depresi media sosial, salah satunya mengkhawatirkan citra tubuh atau penerimaan dengan penampilan mereka. Perlukah kita membatasi diri bermain media sosial? (NWP/PNJ).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *