Sumber harianhaluan.com
Siang itu, seorang mahasiswa mengunjungi gedung rektorat kampusnya untuk mengajukan bantuan pendidikan bidikmisi. Melalui salah satu pembantu rektorat, mahasiswa tersebut mengaku tidak mampu secara ekonomi. Setelahnya, pihak kampus mencoba melakukan tindakan untuk memastikan apakah keterangan mahasiswa tersebut benar atau tidak. Pihak kampus memanggil orang tua mahasiswa tersebut.
Pada hari berikutnya, orang tua mahasiswa itu datang. Secara penampilan, orang tua mahasiswa tersebut cukup mampu menutupi kebohongan anaknya. Mereka datang ke kampus menggunakan pakaian sederhana berupa kaos dan celana jeans. Setelah berbincang cukup banyak, dan memberikan informasi pribadi terkait alamat rumah, pekerjaan, dan pendapatan, akhirnya mereka pulang.
Hari ketiga, pihak kampus melakukan pengecekan kembali apakah mahasiswa tersebut benar tidak mampu. Rektorat kampus mendatangi langsung alamat yang diberikan. Sesuai syarat, rumah itu memang tidak layak tinggal, namun setelah ditelusuri lebih lanjut, rumah tersebut tidak digunakan sebagai tempat tinggal keluarga mahasiswa tersebut, melainkan rumah yang hanya digunakan sebagai pabrik usaha orang tua mahasiswa.
Hal serupa tentu pernah terjadi di Indonesia. Menristekdikti (Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi) Mohamad Nasir menceritakan pengalamannya ketika menjadi salah satu Pembantu Rektor di Universitas Diponegoro (Undip). Kala itu, salah satu mahasiswanya mengaku sebagai keluarga miskin dan mencoba meyakinkan pihak kampus dengan segala cara. “Ada pengalaman waktu jadi pembantu rektor. Ada orang kaya mengaku miskin. Ke kampus dia pakai kaos, dan itu diperjuangkan seniornya,” ujar Mohamad Nasir pada salah satumedia, di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Lantas, apa nilai sebenarnya dari Bidikmisi yang diberikan oleh pemerintah? Perlu ditegaskan, bidikmisi dasarnya adalah program Pemerintah Republik Indonesia, berupa bantuan biaya pendidikan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bagi calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki potensi akademik. Dalam hal ini, pemerintah akan membiayai biaya perkuliahan mahasiswa tersebut sampai lulus tepat waktu.
Pada laman resmi bidikmisi bidikmisi.belmawa.ristekdikti.go.id, diterangkan secara jelas bahwa penerima bidikmisi adalah siswa/calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi dengan kriteria pendapatan kotor gabungan orang tua/wali (suami istri) maksimal sebesar Rp4.000.000,00 per bulan dan atau pendapatan kotor gabungan orang tua/wali dibagi jumlah anggota keluarga, maksimal Rp750.000,00 setiap bulannya.
Jika demikian, seharusnya sudah jelas siapa yang berhak mendapat bantuan pendidikan bidikmisi. Namun, apakah pemerintah sudah rata dalam memberikan bantuan pendidikan bidikmisi di Indonesia? Mengapa masih ada saja masyarakat mampu yang berusaha dan tak jarang ada yang berhasilmenerima bantuan pendidikan tersebut? Sebaliknya, mengapa masih ada saja generasi muda penerus bangsa yang tidak melanjutkan pendidikannya dengan alasan hambatan biaya?
Lagi-lagi ini tidak sepenuhnya salah pemerintah, namun kembali kepada diri sendiri. Sadar diri itu penting. Pantaskah mahasiswa yang mampu secara ekonomi mengambil hak bantuan pendidikan bidikmisi? (Penulis : Deslita Krissanta Sibuea)