OKI | BBCOM | Harapan setiap orang tua berusaha semaksimal mungkin agar setiap anaknya menjadi anak yang baik dan bermoral/berakhlak. Untuk itu salah satu usahanya orang tua ingin memasukan anak-anaknya ke salah satu pondok/pesantren yang ada di daerahnya maupun di luar daerahnya, guna mendapat pengetahuan dan pendidikan agama.
Begitupun dengan pendidik yang ada di suatu pondok/pesantren dapat memberikan panutan maupun tauladan bagi anak didiknya/santri. Namun sayang, hal tersebut tidak berlaku pada salah satu ponpes di OKI bagi pendidik yang berinisial (RP).
Disalah satu pondok pesantren (Ponpes) yang beroperasi di Kabupaten OKI Sumatera Selatan, oknum tenaga pengajar itu justru tidak mencerminkan seorang tenaga pendidi, bahkan merusak masa depan dan psikis 12 santri dengan melakukan tindak pencabulan.

Ironisnya, oknum pelaku berinisial (RP) ini melakukan aksi dugaan pencabulan kepada 12 santri tersebut sejak oktober 2021 lalu. Oknum tersebut merupakan warga desa Muara Kuang kabupaten Ogan Ilir (OI).
“Kami mendapatkan laporan dari orang tua korban, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres OKI segera bergerak cepat melakukan penangkapan terhadap pelaku,” kata Kapolres OKI AKBP Dili Yanto, S.Ik., melalui Kasat Reskrim Polres OKI AKP Sapta Eka Yanto, M.Si., pada Kamis (18/11/2021).
Menurut Kasat, hingga saat ini setidaknya ada 12 santri yang menjadi korban dugaan pencabulan oleh pelaku.
Kasat melanjutkan pelaku melakukan tindakan tersebut sejak Oktober 2021 lalu dengan cara tidak senonoh.
“Modusnya, pelaku menindak korban yang melanggar lalu korban dipanggil, disuruh buka baju, buka celana. Korban disuruh berciuman sesama korban. Parahnya, korban disuruh memainkan alat kelamin (maaf) masing-masing,” terang Kasat.
Mirisnya lagi, aksi yang dilakukan para korban divideokan pelaku.
Atas perbuatannya, lanjut Kasat, pelaku diancam Pasal 82 ayat 1,2 dan 4 Jo 76 UU RI No 17/2016 tentang Perpu No 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23/2003 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman 5 sampai 15 tahun penjara.
“Tapi karena pelaku merupakan tenaga pengajar, maka hukumannya ditambah menjadi maksimal 20 tahun penjara,” jelas Kasat. (Pani)