OKI | BBCOM – Sengketa lahan kembali mencuat di tengah masyarakat Indonesia. Kali ini, konflik terjadi di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kasus ini mencerminkan betapa kompleksnya persoalan agraria di Tanah Air, yang kerap kali berujung pada ketegangan bahkan kekerasan, lantaran tidak adanya solusi yang adil antara masyarakat dan perusahaan pemegang konsesi lahan.
Dalam seminggu terakhir, masyarakat Pedamaran melakukan aksi demonstrasi yang diinisiasi oleh organisasi masyarakat Serikat Pemuda Masyarakat Sumsel (SPMS), menyuarakan tiga tuntutan utama terhadap PT Persada Sawit Makmur (PT PSM).
Pertama, Masyarakat menuntut kejelasan terkait ganti rugi atau kerohiman atas lahan mereka yang hingga kini belum diterima sebagian warga. Proses penggantian lahan dinilai tidak transparan dan diskriminatif.
Kedua, PT PSM dinilai belum merealisasikan kewajibannya untuk menyediakan lahan plasma bagi masyarakat, terutama di wilayah Rambang 2. Sebelumnya, lahan tersebut dikuasai oleh PT Rambang Agro, yang telah membentuk kebun plasma di wilayah Rambang 1. Namun, hingga saat ini, tidak ada kejelasan mengenai pembentukan plasma di Rambang 2.
Ketiga, masyarakat mengeluhkan tindakan sepihak dari pihak perusahaan yang menutup akses jalan air yang selama ini digunakan warga sebagai jalur transportasi utama. Awalnya ditutup dengan kawat berduri, kini akses itu tertutup sepenuhnya. Tak hanya itu, perusahaan juga dituding merampas hasil hutan berupa kayu gelam yang ditebang warga, tanpa ada kompensasi.
Yopi Metaha, perwakilan masyarakat sekaligus pengurus SPMS, saat ditemui di kantor SPMS pada Selasa (29/4/2025), menyatakan bahwa pihak perusahaan belum menunjukkan itikad baik.
“Sampai sekarang masyarakat belum menerima ganti rugi ataupun kerohiman. Perusahaan tidak bisa bertindak semena-mena. Bahkan, 1.500 batang kayu gelam hasil tebangan warga telah dirampas tanpa pengembalian atau ganti rugi,” ujarnya.
Yopi juga mengungkapkan bahwa salah satu warga bernama Yuni memiliki lahan gambut seluas 300 hektare dan 45 hektare lahan talang yang ditanami karet dan sawit, namun tidak ada tindak lanjut dari perusahaan terkait lahan tersebut.
“Yang lebih disayangkan, perusahaan telah menutup akses jalan masyarakat, sehingga mereka tidak bisa lagi beraktivitas seperti biasa. Ini jelas melanggar aturan pemerintah. Kami sudah melaporkan dan berkoordinasi dengan pihak terkait, berharap keadilan bisa ditegakkan dan akses masyarakat segera dibuka kembali,” tegas Yopi.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Persada Sawit Makmur belum dapat dikonfirmasi untuk memberikan klarifikasi terkait tuduhan dan tuntutan warga.
Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan adat, serta peran aktif pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria secara damai dan bermartabat. (pani)