
Anak-anak remaja sopir angkot belasan tahun yang sudah memiliki tato ditubuh membuat penampilan semakin sangar. Apalagi stigma sopir angkot di masyarakat yang ugal-ugalan ditambah dengan tato di tubuh membuat semakin menyeramkan.
Remaja yang mengendarai angkot di Jalan Raya Karanggan, Purpasari, Cibinong ini dengan usia belasan tahun sudah menjadi sopir angkot dan bertato.
Rambut sedikit pirang seperti semir rambut yang sudah mulai luntur, terselip kalung di leher tetapi tidak mampu menutupi “seni rajah tubuh” atau tato yang dibuat di leher bagian kanan remaja ini. Tato lainnya juga telihat di bagian lengan kanan.
Namanya Jejen, remaja usia 18 tahun ini mulai bertato sejak usia 15 tahun. “Ini tato pertama saya (menunjuk bagian lengan kanan) saya buat pas saya keluar dari SMA,” jelas Jejen sambil mengendarai angkot yang dibawanya.
Jejen bersekolah sampai SMA, namun hanya sampai kelas 11, dia memilih keluar karena tidak betah di sekolah dan memilih menjadi sopir angkot. Alasan Jejen keluar dari sekolah bukan karena biaya, keluarganya sanggup untuk membiayai dia sekolah. Namun ia malah memilih untuk tidak bersekolah dan menjadi sopir angkot.
Dari sini terlihat bahwa faktor biaya bukanlah satu-satunya penyebab putus sekolah, namun faktor lingkungan juga mempengaruhi.
Warna-warni tak hanya terlihat di tubuh Jejen saja terlihat pula angkot yang dia kendarai tak biasa.
Warna-warni piloks menghiasi di sisi kanan kiri dan belakang angkot dengan bamper belakang yang sudah copot. Warna biru angkot tertutup oleh coretan-coretan hasil remaja sopir angkot ini.
“Dibuat bareng-bareng, biar ga bosen gitu, polos biru doang,” jelas Jejen.
Mesikupun stigma di masyarakat luas yang memandang orang yang betato tidak berpendidikan, urakan, dekat dengan kriminalisme, Jejen tetap santai menyikapi hal itu menurutnya itu pendapat orang lain saja, “Kan belum kenal aslinya belum tentu orang bertato jahat, lagian gambarnya tribal biasa bukan yang aneh-aneh,” jawab Jejen dengan nada pelan.
Persaingan Moda Transportasi
Mesikpun transportasi online sudah memudahkan, Jejen tetap ingin menjadi sopir angkot, saat ditanya apakah mau beralih ke ojek online yang penghasilannya lebih menguntungan dan jelas, Jejen menjawab “Enggak,” ucap Jejen, dengan alasan malas untuk mengikuti pendaftaran, dengan syarat-syarat yang tidak mampu dipenuhi, misalnya SIM.
Keadaan seperti itulah yang akan tetap ada dan tidak ada perubahan.
Rudi, pria paruh baya yang sedang menunggu angkot dari titik rute keberangkatan angkot di Jalan Raya Karanggan ini menilai adanya remaja sopir angkot ini tiada habisnya. Akan terus ada dan terulang. “Pas anak sekarang udah dewasa nanti bakal muncul lagi anak-anak baru yang pingin jadi sopir, gitu terus pokoknya,” jelas Rudi.
Semestinya seperti mata rantai ini harus diputus untuk mendapatkan generasi muda yang lebih baik lagi dan tidak terpaku pada pekerjaan yang ini-ini saja. ( Rifqy Amin )