Oleh : Lilis ( Guru dan Pegiat Literasi)
Saat mendengar wilayah Indramayu,maka yang terbayang adalah hamparan pematang sawah yang siap panen. Padi yang menguning terbentang luas sejauh mata memandang. Karena selama ini Indramayu dikenal sebagi lumbung padi nasional.
Namun, siapa sangka wilayah yang menjadi penopang ketahanan pangan negeri ini justru termasuk sebagai wilayah dengan penduduk miskin terbanyak di Jabar. Hal ini dilihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyatakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi pertama adalah Indramayu yang tercatat memiliki 12,13 persen penduduk miskin atau sekitar 232 ribu jiwa.
BPS mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Sementara nilai garis kemiskinan Jawa Barat pada Maret 2024 adalah Rp524.052 per kapita per bulan.
Dengan nilai garis kemiskinan yang perlu dikritisi ini pun jumlah masyarakat yang terkategori miskin begitu banyak, apalagi jika nilainya di naikan. Karena secara fakta untuk saat ini uang Rp 524.052 adalah jumlah yang sangat rendah, jika dirata-rata per hari berarti sekitar Rp. 17000, angka yang sangat tidak rasional jika dibandingkan kebutuhan pada saat ini,
Jika nilai garis kemiskinan seperti yang telah ditetapkan saat ini, maka seorang pengemis yang misalnya punya penghasilan Rp. 50.000 per hari tidak terkategori miskin karena penghasilan perbulan di atas nilai garis kemiskinan tadi.
Orang yang benar-benar miskin pun bisa dipastikan mempunyai kebutuhan yang lebih dari Rp. 17000 perhari, mengingat harga-harga kebutuhan pokok yang mahal. Belum lagi kebutuhan mendasar lainnya seperti gas, bensin, listrik, biaya pendidikan dan kesehatan. Maka angkanya dipastikan akan jauh lebih besar.
Standar kemiskinan saat ini benar-benar harus dikaji ulang. Namun penetapan standar kemiskinan tidak terlepas dari sistem yang menaunginya yaitu kapitalisme-demokrasi yang sebenarnya adalah biang kemiskinan. Dalam sistem ini berfokus pada capaian angka-angka saja, namun mengabaikan kondisi real di masyarakat.
Bila melihat sistem Islam, angka hanyalah alat bantu untuk menyelesaikan persoalan sebab penguasa dalam Islam benar-benar tulus dalam mengurus urusan rakyatnya. Tidak seperti penguasa oligarki yang justru memanfaatkan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Lalu, bagaimanakah Islam menyelesaikan persoalan kemiskinan? Berikut adalah uraian singkatnya :
1. Islam Menjamin Kebutuhan Primer
Penguasa dalam Islam akan benar-benar memastikan bahwa rakyat sudah terpenuhi kebutuhan primernya yaitu sandang, pangan, dan papan pada tiap-tiap individu. Jaminan ini bukan berarti negara membagi-bagikan sembako gratis sehingga memunculkan sifat malas pada penduduknya, melainkan dengan mekanisme yang dibuat untuk bisa mengeluarkan keluarga dari kemiskinan.
Mekanisme tersebut antara lain:
Pertama, Islam memerintahkan pada setiap kepala keluarga untuk bekerja. Perintah ini ditunjang dengan kebijakan pemerintah dalam memudahkan laki-laki dalam mencari lapangan pekerjaan.
Kedua, Islam mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya. Jika ada laki-laki yang tidak sanggup bekerja karena cacat, misalnya, kerabat dekatnya wajib membantu.
Ketiga, Islam mewajibkan negara membantu rakyat miskin. Jika ada orang yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki kerabat yang mampu menafkahi, kewajiban nafkah jatuh pada negara. Baitulmal akan memberikan santunan kepada keluarga tersebut hingga ia bisa terbebas dari kemiskinannya.
Keempat, Islam mewajibkan kaum muslim untuk membantu rakyat miskin. Jika kas negara kosong, kewajiban menafkahi orang miskin jatuh pada kaum muslim yang mampu secara kolektif. Teknisnya bisa dengan cara langsung, yaitu kaum muslim yang mampu memberikan bantuan pada orang miskin. Bisa juga dengan perantara negara, yaitu negara memungut dharibah (pungutan temporer) kepada orang kaya untuk diberikan kepada rakyat miskin.
2. Aturan Kepemilikan
Aturan kepemilikan dalam Islam tidak dimiliki oleh sistem mana pun. Aturan ini menjadikan persoalan kemiskinan otomatis akan terselesaikan. Aturan kepemilikan mencakup jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan.
Pertama, jenis kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu. Misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lainnya. Jenis kepemilikan ini akan memunculkan semangat bekerja pada individu sebab secara naluriah manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta.
Jenis kepemilikan umum adalah izin dari Allah Swt. kepada publik untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu sehingga jenis kepemilikan ini haram dikuasai oleh individu. Contohnya padang rumput, hutan, sungai, danau, laut, dan tambang (batu bara, emas, minyak bumi, dll.).
Kepemilikan negara adalah setiap harta yang pengelolaanya diwakilkan kepada khalifah selaku kepala negara. Kepemilikan negara meliputi ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki waris, dharibah, dan lain-lain.
Kedua, pengelolaan kepemilikan. Pengelolaan kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam dilakukan dengan dua cara, diantaranya adalah pengembangan kepemilikan dan penggunaan harta. Keduanya harus terikat dengan syariat. Misalnya Islam melarang seseorang untuk menginvestasikan hartanya dengan cara ribawi. Pengaturan pengelolaan kepemilikan seperti ini akan menjadikan harta selalu beredar di sektor riil.
Ketiga, distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Pengaturan inilah menjadi kunci utama dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Jika dalam sistem ekonomi kapitalisme, distribusi kekayaan hanya melalui mekanisme harga sehingga hanya orang yang memiliki uang sajalah yang mampu mengakses semua kebutuhan hidupnya. Maka ini berbeda dengan Islam, Islam mewajibkan negara mendistribusikan harta kepada yang tidak mampu. Contoh lainnya adalah waris, syarak telah menentukan kepada siapa harta tersebut mengalir.
Menurut uraian di atas, telah jelas bahwa Islam adalah solusi atas persoalan kemiskinan. Dan keberhasilan sistem Islam tersebut telah dibuktikan oleh tinta emas peradaban Islam.