Di tengah-tengah riuh suara kokok ayam. Ia langsung menyiapkan lebih dari seratus donat dan satu kantung gula ke dalam kotak untuk dijual, Ia adalah Pak Mansyur. Diatas punggung yang sudah menua, kotak itu dipikul setiap harinya. Langkah demi langkah dijalani, sambil mengetuk kotak yang dibawa Pak Mansyur mulai menjajakan dagangannya. Fajar mulai menunjukkan sinarnya, dan Pak Mansyur berhenti di tepi jalan, sambil menengadahkan tangannya ia berdoa agar dagangan laku terjual. Untuk mendapatkan pembeli, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, dengan wajah penuh harap ia tetap sabar menunggu orang yang ingin membeli donatnya.
Pak Mansyur adalah seorang perantau, datang ke Kota untuk mengadu nasib. Merantau sejak 1970-an dengan isteri, pada saat itu juga berjualan donat buatannya yang hanya dijual seharga Rp.10. Dulu ia memiliki toko dan tidak perlu berkeliling mencari pembeli. Sekarang ia berjualan donat yang dikirim dari pabrik, donat dijual dengan harga Rp.1000. Diumur yang sudah renta ini ia tidak bisa membuat donat sendiri karena beberapa alasan, salah satunya adalah tempat tinggal.
Ia tinggal di kontrakan tiga petak dengan teman-teman senasibnya. Ia adalah yang paling tua diantara teman yang lain. Di lingkungannya Pak Mansyur juga dikenal baik, suka bergotong royong dan bertetangga. Ia juga sangat rajin beribadah, untuk mengadu isi hati kepada tuhan dan memanjatkan doa serta rasa syukur.
Ia memiliki empat anak laki-laki dan satu anak perempuan yang tinggal di kampung. Ia membesarkan anak-anaknya seorang diri sebagai ayah dan juga ibu. Isterinya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena sakit. Sekarang semua anaknya sudah bekerja dan berkeluarga. Tetapi walaupun begitu, Pak Mansyur tidak pernah ingin mendapat belas kasihan oleh anak-anaknya. Di usia tuanya ia tetap mencari uang sendiri tanpa pernah meminta kepada anaknya. “Saya masih bisa cari uang sendiri, saya mau mandiri, saya malu kalo tinggal di rumah anak saya takut dibilang ikut campur urusan rumah tangganya.” ujarnya.
Bujukan untuk tinggal bersama dan berhenti berjualan sudah beberapa kali dilontarkan ke Pak Mansyur oleh anak-anaknya, tetapi iya tetap ingin berjualan. Pak Mansyur selalu bersyukur walaupun hanya berjualan donat dengan penghasilan yang tidak seberapa, ia tidak perlu menyusahkan anaknya.
Jadi, bukankah kita harusnya malu? Bila menjadi jiwa muda penerus bangsa yang pemalas? Sedangkan Pak Mansyur yang sudah tua saja masih gigih untuk membiayai hidupnya sendiri tanpa harus meminta belas kasihan kepada orang lain bahkan anak kandungnya sendiri. Seperti kata pepatah “Lebih baik memberi, daripada meminta”. (Lutfi Mudrika Izaki)