Nabi Muhammad dalam Ramadhan Tanpa Mengeluh

(Sumber gambar : google image)

Tidak patut bagi kita untuk mengeluh pada Ramadhan, ada seorang manusia yang dimuliakan bumi dan langit pada beribu-ribu masehi lalu untuk memikul amanah mulia dari Tuhan, Muhammad namanya. Lahir dari perempuan tangguh dan besar oleh kehidupan yang berliku pada zamannya. Seorang manusia yang lahir dan ditakdirkan sebagai pengenggam hujan di dunia ini.

Bagaimana kita harus mengeluh? Sedangkan ketika Ramadhan dahulu Tuhan menakdirkan turunnya Alquran pertama kali disaat Muhammad berdiam diri di Gua Hira, disaat ia mengasingkan diri dari fananya dunia dan menghibur diri untuk mendekati Tuhannya, disaat banyak umat manusia membencinya karena ajarannya, disaat banyak umat manusia mengejeknya orang gila.

Namun saat itu pula sosok  Jibril datang membawa sepenggal ayat suci, bahkan Muhammad juga merupakan manusia biasa, tangannnya bergetar dan pulang dengan keringat bercucuran. Ia berselimut namun masih diselimuti rasa takut. Saat itu Tuhan mengangkatnya menjadi Nabi, utusan bagi milyaran umat manusia hingga akhir zaman. Sebuah amanah yang tidak akan bisa dipikul seorang pun di dunia ini untuk menjadi pemimpin zaman.

Bagaimana kita harus mengeluh? Sedangkan ketika Ramadhan dahulu Muhammad harus menghadapi perang Badar, perang pertama kali bagi seluruh umat muslim. Muhammad dengan 313 pejuang dengan 600 kuda dan 700 unta saling bertempur melawan kaum musyrikin. Apakah mereka berpuasa? Iya mereka tetap berpuasa sambil memainkan pedang-pedang mereka. Sejatinya Perang Badarlah yang menjadi saksi keimanan dan ketaqwaan Muhammad dan pengikutnya kepada Tuhan.

Putri dari Muhammad, Sayyidah Ruqayyah wafat ketika perang Badar berkecamuk. Naluri seorang ayah pasti akan merasakan kesedihan yang mendalam akibat putri yang meninggalkannya. Namun, Muhammad juga memegang amanah untuk memimpin perang Badar. Ia lebih meninggalkan egonya demi nasib kaumnya , demi kehormatan islam yang membuat agama kita saat ini diterima seluruh dunia.

Saat ini kita mengeluh lapar, lelah, solat terawih yang begitu lamanya. Seharusnya kita malu, perjuangan kita belum ada apa-apanya dengan Muhammad, nabi kita semua. Tidak seorang pun kuat jika harus memilih antara berperang atau menghadiri kematian putri sendiri di saat berpuasa. Tuhan tidak salah memilih penutup nabi hingga akhir zaman, kita patut untuk memujanya sebagai pemimpin hingga akhir zaman.  (Penulis : Amalia Zhahrina mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *