Oleh : Teddy Guswana (Redaksi Bandung Berita)
Semangat pembangunan daerah yang didasarkan pada aspirasi masyarakat adalah hal yang senantiasa menjadi tuntutan karena hal ini merupakan model pembangunan bottom up sehingga dalam konteks pembangunan daerah/wilayah akan berkesuaian dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks itu, khusus menyangkut peran DPRD, maka aspirasi masyarakat itu salurannya melalui apa yang disebut dengan pokir (pokok pikiran) dewan, dimana aspirasi masyarakat itu diserap oleh dewan saat masa reses. Berdasarkan Pasal 178 Permendagri No. 86 Tahun 2017 dinyatakan bahwa Penelahaan Pokir merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.
Itu artinya, adanya penganggaran untuk pokir dewan dijamin oleh Undang Undang dan Peraturan Pemerintah dan mekanisme penganggarannya melalui SIPD dalam bentuk Program dan Kegiatan. Namun demikian, kesesuaian dengan kemampuan keuangan daerah tetap mesti dijadikan pegangan. Artinya Dewan tidak bisa memaksakan seluruh aspirasi yang diperoleh dari reses bisa dimasukan kedalam Program dan Kegiatan dalam konteks pembangunan daerah.
Selain itu, seyogyanya dihindarkan potensi timbulnya polemik terhadap pokir dewan karena adanya tendensi dominasi pokir dewan didalam Program dan Kegiatan. Terkait hal ini, sangat disayangkan ketika mencermati pokir DPRD Kab. Bandung Barat dalam dua tahun terakhir 2022-2023 ternyata mendapat sorotan karena adanya dominasi anggaran di tiap dinas yang program dan kegiatannya banyak dikuasai pokir dewan, sementara anggaran dinas sendiri porsinya terkesan terlalu kecil.
Padahal OPD sendiri kan mempunyai program dan kegiatan yang juga bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Namun karena pokir dewan terlalu dominan, maka OPD terkesan kurang mendapat porsi memadai untuk melaksanakan proram dan kegiatan.
Kondisi itu tidak saja menjadi sorotan media tetapi juga muncul dari suara beberapa dinas dan beberapa rekanan KBB yang biasa mendapat pekerjaan dilingkungan KBB. Sorotan ini tentu merupakan kondisi yang semestinya disikapi secara bijak terutama oleh kalangan dewan dan disadari apa yang menjadi penyebab timbulnya sorotan itu. Dengan demikian maka pada tahun tahun mendatang, sorotan yang kurang mengenakkan itu bisa dimininalisir dan tidak menjadi polemik.
Hal hal yang menjadi sorotan diantaranya adalah terlalu dominanya pokir dewan didalam program dan kegiatan di tiap OPD, adanya dugaan rekanan yang melaksanakan program dan kegiatan tersebut berasal dari orang orang yang dekat dewan sendiri, sedangkan rekanan yang tidak dekat dengan dewan tidak mendapat pekerjaan. Hal inilah yang seyogyanya dijadikan koreksi agar di tahun tahun 2024 dan tahun tahun berikutnya tidak lagi muncul kondisi seperti ini.
Memang menjadi kewajiban dewan untuk menyerap aspirasi masyarakat yang kemudian dituangkan kedalam pokir. Namun hal hal yang diperkirakan akan menjadi polemik diseputar pokir dewan seyogyanya juga menjadi atensi agar ridak mengudang sorotan dan polemik yang tidak mengenakkan.