TANAH DI MATA BIROKRATISME PREDATORIS

JABAR BBCom-Seluruh Hak Atas Tanah memiliki Fungsi Sosial ialah suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang sifatnya adalah kebersamaan atau kemasyarakatan, dalam konsep Hukum Tanah Nasional sendiri tanah memiliki sifat komunalistik religius yang dinyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekanyaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia adalah sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang sebesar besarnya dipergunakan untuk Kemakmuran Rakyat.

Kebijakan Pengadaan Tanah untuk pembangunan dimana dengan mengijinkannya pengadaan tanah untuk proyek-proyek Insfratuktur yang dipraktekkan oleh birokrat-politik yang posisi resmi otoritas mereka berada di kantor-kantor pemerintahan yang artinya itu merupakan sumber dari kekuasaan mereka, adalah telah menghilangkan sifat yang secara prinsip itu komunalistik religius, termasuk penggunaan (dan penyalahgunaan) untuk memberikan berbagai konsensi atas tanah, hutan dan pertambangan yang pada intinya memiliki kewenangan dalam memberikan berbagai Perijinan.

Sebagaimana kekuatan otoritas politik saat ini, yang terskema sangat rapih, dibuktikan dengan berbagai macam regulasi kebijakan dimulai dengan Perpres No 3 tahun 2016 tentang percepatan insfratuktur strategis nasional yang diperkuat dengan Inpres No 1 tahun 2016 tentang percepatan proyek strategis nasional, lalu RPJMN 2015 – 2019 sebagai Penguat dan Perpres dan Inpres adalah jaminan fasilitas politik, perizinan dan finansial, dimana seluruh pembianyaan atas insfratuktur tersebut adalah pinjaman atau hutang luar negeri yang bersumber dari lembaga keuangan international dan perbankan international seperti dari Bank Dunia (WB), Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan Lembaga keuangan seperti Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan lain-lain.

Sebagaimana dari hasil Catatan 1 tahun ke belakang atas tanah yang telah di hilangkan fungsi sosial dan komunalistik Religiusnya yang kemudian telah merampas ruang hidup dan meminggirkan rakyatnya di wilayah Jawa Barat adalah.

Proyek Bandara Kertajati dimana rakyat terdampak dan lahan pertaniaanya (fungsi sosial dan komunalistik religius) sebanyak 970 Ha, hanya akan di ganti rugi sebagaimana tertuang dalam UU no 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Perpres no 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, lalu Birokratisme Predatoris hanya focus pada ganti kerugian tetapi tidak focus pada bagaimana rakyat terdampak ini di nilai dari kebahagian dan kehidupan serta budaya yang secara turun temurun sudah nyaman dengan fasilitas yang dimiliki dan mata pencaharian dari lahan produktif yang di garapnya, otoritas politiknya lebih focus pada bagaimana Tata Ruang berpihak pada rencana-rencana Investasi untuk Investor namun mengabaikan rakyat sebagaimana memiliki kuasaan mutlak dan tertinggi di Repubik Indonesia, sehingga muncullah ledakan gejolak penolakan dari rakyat yang kemudian berujung pada kriminalisasi rakyat yang terus mempertahankan tanahnya.

Proyek Bendungan Skala besar Jatigede yang saat ini telah beroprasional dan telah juga kembali meminjam hutang pada AIIB untuk Operasional Bendungan dan belajar dari kasus bendungan Jatigede, proyek ini telah memberikan dampak bagi rakyat secara langsung, hilanganya sekitar 2000 ha sawah produktif, 1300 ha hutan, 11.000 rumah, 40.000 jiwa harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian. hingga saat ini.

Kereta Cepat Jakarta Bandung, KPPIP memfasilitasi penyediaan konsultan bertaraf internasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 93 Tahun 2015 tentang Tim Penilai Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan menunjuk konsorsium PT Boston Consulting Group dan Parsons Brinckerhoff melalui serangkaian proses seleksi untuk mengevaluasi proposal Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung yang berasal dari Pemerintah Jepang dan Pemerintah RRT yang akan mengahabiskan tanah 700 Ha kurang lebih.

Kini Tanah di Mata Birokratisme Predatoris adalah komoditas transaksional yang telah memuaskan hastrat para investor dan untuk rakyatnya adalah perampasan atas ruang hidup yang yata dengan kepedihan perjuangnnya yang telah Mati di Tanahnya Sendiri.
Ekstraksi dari Riset yang di lakukan Walhi Jabar atas Dampak Proyek Infrastruktur Strategis Nasional di Jawa Barat Tahun 2016 – 2017.
Wilayah Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Majalengka, dan Cekungan Bandung akan di Dominasi oleh Properti dan Industri
Menurunkan daya dukung dan daya tampung Lingkungan DAS Citarum, Cipunagara, Cimanuk, Ciliwung dan Cisanggarung Potensi Bencana Lingkungan Hidup semakin Besar
Akses Air Rakyat akan di renggut oleh Perusahaan Alih Fungsi Lahan kurang lebih 76.000 Ha 18.000 Ha lahan Petani hilang 3.500 Ha Hutan Hilang
12.500 Petani kehilangan Mata Pencarian 700 Ha Pesisir dan Pantai Direklamasi 540 kk Nelayan Kehilangan Mata Pencarian
6540 kk kehilangan tempat tinggal
Hutang luar Negeri kurang lebih Rp. 850 Triliun
JABAR DARURAT AGRARIA..!!
HARI TANI 24 SEPTEMBER 2017..!!!
Penulis Catatan : Haerudin Inas II Capung. Ketua Dewan Daerah Walhi Jabar. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *