“Penerapan Diskresi di tengah Duka Sulawesi Tengah”

Belum hilang rasanya dari ingatan kita, bencana alam yang melanda Nusa Tenggara Barat. Kini bencana alam yang tak terduga pun datang menimpa saudara kita di Sulawesi Tengah, tepatnya di kota Palu dan Donggala. Diperkirakan jumlah korban yang meninggal berkisar kurang lebih 1374, hal ini diungkapkan Kepala BNPB Willem Rampangile.

Dengan terjadinya gempa dan tsunami yang telah memporak porandakan keadaan di Palu, Sigi dan Donggala sehingga otomatis dapat dikatakan kota Palu dan Donggala lumpuh. Hal ini didukung dengan komunikasi di lokasi sangat terbatas. Seperti yang kita ketahui ada beberapa berita yang mengabarkan bahwa ada aksi penjarahan yang dilakukan oleh sebagian oknum, yang melakukan penjarahan di minimarket, gudang elektronik, serta yang lucunya pelaku membawa kabur mesin ATM.

Di tengah duka yang dirasakan oleh penduduk Sulawesi Tengah akibat bencana alam. Peran aktif Pemerintah dalam mengatasi dan menaggulangi bencana alam sangatlah dibutuhkan, baik peran aktif dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.

Berdasarkan perspektif penulis, pada tahap implementasi pemerintah haruslah cermat dalam bertindak, hal ini dikarenakan keterbatasan regulasi. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana pemerintah hanya terpaku pada ketentuan yang telah ada. Namun kita tidak boleh melupakan bahwa pemerintah memiliki instrumen diskresi atau freies Ermessen sebagai konsekuensi dari kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas.

Secara tata bahasa freies Ermessen dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak terikat. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat. Sedangkan Ermessen artinya mempertimbangkan dan menilai, menduga dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini dipergunakan dalam bidang pemerintahan atau yang bisa disebut juga sebagai kekuasaan diskresi (diskresionare power) yang merupakan ruang gerak pemerintah (administrasi negara) untuk bertindak tanpa harus terikat pada undang-undang.

Namun dalam perkembangan dewasa ini istilah diskresi telah diatur di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana Pasal 1 ayat 9 menyebutkan bahwa diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dengan diakomodasinya diskresi beserta syarat dan batasannya yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 menurut penulis telah memberikan kepastian hukum. Walaupun ada beberapa ahli yang menentang dengan diaturnya diskresi di dalam UU No. 30 Tahun 2014 karena telah membuat pembatasan terhadap tindakan pemerintah atau dengan kalimat yang lebih sederhana telah memasung pemerintah untuk bertindak secara bebas.

Terlepas dari hal dituangkannya diskresi di dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Pemberian diskresi terhadap pemerintah merupakan suatu keniscayaan pada era modern ini, yang merupakan konsekuensi dari konsep negara kesejahteraan (welfare state). Dimana pemerintah terlibat langsung dalam proses pelayanan publik. Esensi dari setiap wujud diskresi adalah kebebasan bertindak. Kadar serta luasnya cakupan diskresi berbeda-beda, tergantung pada luasnya kewenangan yang melekat pada jabatan.

Terkait duka yang melanda Sulawesi Tengah, pemerintah dapat menggunakan instrumen diskresi untuk mengatasi dan menanggulangi keadaan pasca peristiwa bencana alam. Sebagaimana dikatakan oleh Gamawan Fauzi yang merupakan mantan Menteri Dalam Negeri, mengatakan bahwa diskresi dapat digunakan manakala:

Pertama, adanya kondisi darurat yang nyata sangat akut dan tiba-tiba; Kedua, ketiadaan pilihan lain kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum. Ketiga, kerugian yang ditimbulkan akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan tujuan atau maksud dilakukannya tindakan tersebut. Keempat, tindakan tersebut hanya untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi, dan pihak yang dirugikan juga dalam jumlah yang sangat sedikit. Kelima, adanya kompensasi.

Hal selaras dikemukakan oleh Sjahran Basah yang mengemukakan bahwa diskresi dapat dipergunakan dalam hal:

Pertama, ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik. Kedua, merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara. Ketiga, sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum. Keempat, sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri. Kelima, sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diasumsikan bahwa ruang lingkup diskresi mencakup beberapa hal: pertama, berkenaan dengan implementasi atau penjelasan secara detail dan lebih spesifik norma umum dan abstrak undang-undang; kedua, menafsirkan norma samar dan terbuka yang ada di dalam undang-undang; ketiga, mengambil pilihan dari beberapa alternatif yang ada, mempertimbangkan berbagai kepentingan terkait dan bahkan membuat norma untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang belum ada aturannya. Hal selaras disebutkan dalam Pasal 23 UU No 30 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi: a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Diskresi dapat dituangkan dalam bentuk tertulis, yang pada umumnya disebut dengan peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules). Namun tidak semua tindak tanduk pemerintah atas dasar diskresi menghasilkan peraturan kebijakan. Dapat saja peraturan perundang-undang. Yang materi muatan peraturan tersebut merupakan peraturan pelaksana yang telah diamanatkan oleh peraturan di atasnya. Misalnya Peraturan Presiden yang diperintahkan dari Undang-Undang. Dalam konteks ini Peraturan Presiden atau Peraturan Kepala Daerah dapat berupa peraturan perundang-undangan ataupun peraturan kebijakan.

Adapun bentuk diskresi yang dapat dituangkan dalam peraturan kebijakan jika dikaitkan dengan kondisi ril yang terjadi di Sulawesi Tengan. Penulis menyarankan pemerintah dalam mengatasi dan menanggulangi dampak yang terjadi akibat bencana alam, dapat menerapkan kewenangan bebasnya (diskresi) baik itu dituangkan dalam bentuk tertulis peraturan kebijakan atau peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini lebih lanjutnya berdasarkan diskresi, pemerintah dapat mengeluarkan dana yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan para korban bencana alam. Baik itu berupa makanan pokok, alat kesehatan, pakaian dll.  Tentunya dalam penerapan diskresi harus memperhatikan sebagaimana Pasal 24 Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:

  1. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik.

Berdasarkan pemaparan tersebut penulis berasumsi bahwa diskresi atau freies Ermessen dapat dipergunakan sebagai dasar bertindak untuk dan atas nama kepentingan umum sebagaimana tujuan diskresi yang disebutkan Pasal 22 ayat 2 UU No 30 Tahun 2014 yang bunyinya bahwa setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. Mengisi kekosongan hukum;c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Dengan demikian penulis berharap keadaan Sulawesi Tengah khususnya Palu, Sigi dan Donggala agar dapat kembali kondusif seperti sediakala.

Penulis adalah: Adam Setiawan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum UII

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *