P Perda: Penderita Sakit Jiwa Perlu Penanganan Tuntas

BANDUNG BB.Com–Berkenaan dengan Raperda Inisiatif DPRD Provinsi Jawa Barat tentang Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa, dipimpin oleh ketua Yusuf Puadz, BP Perda melakukan kunjungan untuk mendapat informasi terkait masalah kesehatan jiwa  ke RS. Jiwa Provinsi Jawa Barat di Cisarua Kab. Bandung Barat (11/11). pasien-jiwa

Pada kunjungan tersebut sebagaimana dikemukakan Yusuf, pihaknya melakukan pemantapan raperda agar pada saat pada saat pembahasan nanti dapat dilakukan secara komprehensif apalagi saat ini BP Perda sudah mendapatkan draf  Raperda dimaksud.

Yusuf mengatakan sesuai amanat undang-undang, setiap provinsi harus memiliki 1 (satu) Rumah Sakit Jiwa, dan kewajiban ini telah gugur karena Provinsi Jawa Barat saat ini sudah memiliki rumah sakit jiwa. Namun BP Perda perlu mendapatkan masukan terkait dengan perlu atau tidaknya setiap kab/kota memiliki 1 rumah sakit jiwa.

Yusuf menambahkan pihaknya juga memerlukan masukan terkait ruang lingkup penyelenggaraan kesehatan jiwa, apa yang harus dimuat dalam raperda dimaksud serta apa yang bisa menjadi kendala penyelenggaraan kesehatan jiwa tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Direktur RS. Jiwa Provinsi Jawa Barat Adang Ajiji memberikan sambutan dan apresiasi terhadap Raperda yang diajukan oleh DPRD Provinsi Jawa Barat tersebut.

“Masalah kesehatan jiwa ini memang seperti kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, bahkan seharusnya raperda ini diajukan oleh eksekutif, terlebih Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penderita sakit jiwa yang terbesar di Indonesia.”

Sementara itu menanggapi apa yang disampaikan BP Perda, salah seorang dokter di RS. Jiwa, dr Riza Putra mengemukakan dulu Bappeda pernah mewacanakan 1 (satu) rumah sakit jiwa dis etiap BKPP yang ada di Jawa Barat, artinya ada 4 rumah sakit jiwa di Jawa Barat.

Namun menurutnya sebagaimana yang juga dikemukakan dr. Elly Warliyani saat ini keberadaan rumah sakit jiwa di setiap kab/kota belum begitu diperlukan selama RSD yang ada bisa menangani dan memiliki fasilitas untuk pelayan kesehatan jiwa.

Saat ini penanganan pasien dilakukan oleh 1 (satu) tim yang terdiri dari beberapa  ahli dan tenaga medis.

Yang menjadi masalah adalah perawatan yang harus dilakukan secara berkesinambungan seringkali terkendala oleh aturan BPJS yang memiliki batasan/kuota sehingga pasien tidak dapat diobati dengan tuntas.

Hal lain yang mengemuka pada pertemuan tersebut adalah perlunya dukungan dari masyarakat terhadap pasien yang dinyatakan sembuh dan dapat dikembalikan kepada masyarakat.

“Masalah kesehatan jiwa ini tanggungjawabnya sampai pada fase rehabilitatif berbasis komunitas.” Karena itu diperlukan peran serta masyarakat melalui kader-kader jiwa yang ada di setiap desa sebagaimana yang dilakukan terhadap penderita TBC.

Terkait dengan masalah pemanfaatan teknologi, dikemukakan untuk menangani pasien kejiwaan dibutuhkan teknologi  mutakhir, namun diakui bahwa sitem untuk itu belum mendukung sehingga masalah ini perlu pula dimasukan ke dalam perda.

Pada kesempatan yang sama, Toni Setiawan mengatakan BP Perda ingin agar Raperda ini bisa menjadi Perda yang secara tuntas memberikan aturan mengenai penyelenggaraan kesehatan jiwa secara tuntas karena itu BP Perda perlu masukan serta data lengkap yang tentunya akan dibuthkan dalam pembahasan selanjutnya.


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *