Miris, Kepsek SMA Di Bandung Lakukan Pungli: Butuh Solusi Sistemik 

Oleh : Lilis Suryani ( Guru Dan Pegiat Literasi)

Pungli atau pungutan liar, sebuah istilah yang tidak disukai semua orang, namun pada praktiknya seperti sudah ada normalisasi di masyarakat terkait aksi tidak terpuji ini.
Bagaimana tidak aksi pungli dapat kita temui dengan mudah di mana saja, baik itu di jalanan, dalam perusahaan atau di sebuah instansi dan birokrat pemerintah. Bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun tidak terlepas dengan aksi pungli.

Seperti yang viral baru-baru ini, Inspektorat Daerah Provinsi Jawa Barat telah menindaklanjuti laporan dugaan pungli di dua SMA Kota Bandung sebagaimana dilaporkan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) dan telah diinvestigasi oleh Satgas Saber Pungli.

Mirisnya, dikabarkan bahwa sudah ada tiga kepala sekolah yang direkomendasikan oleh Inspektorat Daerah untuk diterapkan sanksi PNS kategori berat. Masalah ini telah ditindaklanjuti oleh Badan Kepegawaian Daerah dan telah diterbitkan Keputusan Gubernur untuk penjatuhan sanksi.

Padahal, pemerintah sendiri telah berupaya untuk memberantas aksi pungli atau korupsi ini dengan menerbitkan UU 31/1999 junto UU 22/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pungutan liar terkategori tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus diberantas.

Namun pada faktanya, kasus pungli atau korupsi  justru semakin marak terjadi. Di dunia pendidikan bahkan seperti fenomena gunung es, hanya beberapa saja yang viral karena terendus media. Dan diyakini masih banyak kasus pungli lainnya yang tidak menguak ke permukaan. 

Lalu, kenapa kasus pungli atau korupsi ini seperti sulit diberantas hingga ke akarnya?

Setidaknya, ada dua problem mendasar dari sulitnya memberantas praktik pungli ini. Pertama, aspek individu yang tidak berintegritas. Kedua, aspek sistem yang saat ini diterapkan, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan (sekuler). Sistem ini telah membentuk masyarakat sekuler yang menafikan spirit keimanan dalam kehidupan.

Walhasil secara alami terbentuklah pribadi yang minim merasakan kehadiran Ilahi, hingga ia  tidak punya rasa takut akan adanya pengawasan Allah. Beragam kebijakan hanya akan menimbulkan rasa takut pada manusia, tetapi tidak pada Allah. Padahal, Allah adalah sebaik-baik pengawas bagi manusia.

Aspek individu dan sistem yang dijalankan saling memengaruhi dalam membentuk zona integritas saat memberikan pelayanan publik. Untuk mewujudkan hal itu, mencukupkan masalah hanya pada aspek individu saja tentu tidak cukup. Harus ada koreksi sistemis jika negeri ini benar-benar ingin terbebas dari berbagai pungutan saat memberikan pelayanan pada masyarakat.

Bila di dalam sistem sekuler gagal dalam menciptakan zona integritas, maka Islam berbeda. Sistem sekuler yang menafikan pengawasan Allah adalah celah awal bagi pejabat mengambil harta yang bukan haknya. Sebaliknya, ketakwaan individu adalah perkara penting dalam sistem Islam. Dalam menjalankan amanah, pejabat/pegawai pemerintah menyertakan pemahaman mengenai adanya hubungan aktivitas manusia dengan pengawasan Allah atas manusia dalam beraktivitas.

Di sisi lain, masyarakat dalam sistem pemerintahan Islam memiliki kesadaran akan pentingnya saling mengingatkan dalam perkara takwa. Ini merupakan implementasi dari perintah untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat turut mengawasi kinerja para pejabat atas dasar keimanan semata.

Tidak kalah pentingnya adalah penerapan sanksi oleh negara. Kasus pungli tidak boleh dibiarkan menguar begitu saja. Ada proses hukum yang harus berjalan agar praktik ini tidak terulang. Pungutan liar dan praktik sejenisnya adalah tindakan memperoleh harta yang tidak dibenarkan syariat.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar rida di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 29).
Terkait surah di atas, As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, “Allah Swt. telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil dan mengategorikannya sebagai tindakan ghashab (menggasab/perampasan), pencurian, serta memperoleh harta melalui judi dan perolehan-perolehan yang tercela.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 300).
Ghashab, menurut kitab Al-Muhith fi al-Lughah, adalah mengambil sesuatu secara zalim dan memaksa.

Menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, ghashab adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa dan tanpa alasan yang benar.
Dalam praktiknya, ghashab tidak saja terjadi antarindividu, tetapi juga bisa negara terhadap rakyatnya. Berbagai pungutan yang tidak sesuai syariat adalah kezaliman.
Memang, banyak yang menyadari bahwa individu berintegritas beriringan dengan ketakwaan. Hanya saja, aspek sistem tidak kalah pentingnya. Syariat tidak cukup dikhotbahkan di mimbar sebagai pesan morel untuk membentuk pejabat dan pegawai berintegritas. Lebih dari itu, butuh perubahan mendasar dan menyeluruh.

Tidak sedikit pula yang kerap mengambil sistem Islam sebagai role model kepemimpinan bebas pungli maupun korupsi. Sayangnya, kajiannya masih sebatas sosok, bukan sistem. Padahal, pejabat negara yang bertakwa hanya lahir dari sistem yang menyandarkan seluruh aktivitas di bawah pengawasan sang Khalik, bukan yang lain. Karena itulah, penerapan Islam secara kaffah diyakini menjadi solusi permasalahan pungli hingga permasalahan lainnya di negeri ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *