Indonesia dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Hal itu merespons peristiwa bencana yang melanda sejumlah wilayah di awal tahun 2021 di tengah wabah Covid-19 yang terus menjangkiti Indonesia. Selain menelan banyak korban jiwa, bencana tersebut juga menghancurkan ribuan rumah dan bangunan. Ribuan orang pun harus mengungsi untuk berlindung.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ) mencatat dari 1 Januari sampai 9 Februari 2021 Pukul 15.00 WIB seperti dikutip dari laman antaranews.com (9/2/2021), tercatat jumlah kejadian bencana sebanyak 386 kejadian. Dimana bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung masih mendominasi jumlah bencana di tahun ini.
Menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) saat ini memang sebagian besar wilayah Indonesia mulai memasuki musim hujan. Ancaman bencana hidrometeorologi banjir dan tanah longsor makin mengancam seiring munculnya anomali cuaca di skala regional. Oleh karenanya, curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung.
Kendati demikian, kita juga harus menyadari bahwa bencana alam yang sedang mendera bangsa ini bukan hanya fenomena alam, tetapi karena kelalaian kita sebagai pemangku tanggung jawab ekologis. Hampir sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia justru disebabkan oleh kelalaian ekologis.
Hal ini sejalan dengan laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyebutkan bahwa dari sekian bencana alam yang terjadi adalah akibat persoalan ekologi. Seperti banjir besar di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang terjadi baru-baru ini di awal Januari 2021. Bencana tersebut muncul akibat dari ruang resapan yang kian hari kian berkurang. Masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus turut andil dari bencana ekologi ini. Dari luas Kalsel 3,7 juta hektare yang terdiri 13 kabupaten dan kota, 50%-nya sudah dibebani izin tambang 33% serta perkebunan kelapa sawit 17% (dikutip dari laman analisis.kontan.co.id, 19/01/2021).
Di lain hal, terjadinya banjir yang melumpuhkan Kota Semarang di awal Februari ini, menurut ahli hidrologi Universitas Diponegoro (Undip) Suripin, kurang tepat jika kita menyalahkan alam, dalam hal ini, hujan (dikutip dari Kompas.com, 8/2/2021). Karena faktor dominan justru disebabkan oleh faktor antropodemik, yaitu faktor yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia. Adanya pengembangan kota membuat semakin banyak lahan yang tidak tembus air. Selain itu lemahnya ketertiban masyarakat seperti perilaku membuang sampah sembarangan juga menjadi salah satu penyebab banjir.
Begitu pula bencana-bencana lain yang mengikuti peristiwa sepanjang tahun ini. Hampir semua terjadi karena ketidakseimbangan ekosistem yang bermuara pada berbagai malapetaka alam berupa bencana bagi manusia dan kerusakan lingkungan itu sendiri.
Pentingnya Kecerdasan Ekologis
Persoalan yang dihadapi sekarang ini adalah kesadaran warga masyarakat yang rendah terhadap pelestarian lingkungan yang menyebabkan kerusakan ekosistem. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan ini terjadi tidak hanya pada sekelompok orang tertentu, tetapi meliputi hampir semua kalangan, baik terjadi pada tingkat individu rumah tangga, komunitas kecil perambah hutan, maupun pada tingkat organisasi seperti perusahaan. Bahkan pada tingkat intelektual, seperti cendekiawan yang melontarkan ide-ide pembangunan masa depan, tetapi tidak mengagendakan masalah lingkungan yang bisa disejajarkan dengan masalah politik, ekonomi, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia.
Kita akui, pembangunan dan industrialisasi semakin menggeliat saat ini. Namun fakta lain menunjukkan pembangunan infrastruktur sebagai fondasi pembangunan sosial ekonomi bangsa dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan aspek ekologi. Padahal aspek ekologi menjadi hal penting guna menekan potensi degradasi lingkungan. Ini demi pembangunan yang berkelanjutan.
Menghadapi ancaman krisis ekologis ini, diperlukan komitmen untuk memelihara dan melestarikan potensi kekayaan sumber daya alam dan lingkungan. Bila saja bangsa ini tidak segera sadar atas kesalahannya mengelola alam, peradaban bangsa ini tentunya akan segera kolaps alias punah seperti yang diprediksi oleh Jared Diamond dalam bukunya Collapse: How Societies Choose To Fail or Succeed (2005).
Untuk itu Goleman dalam bukunya Ecological Intelligence (2009:12) mengemukakan perlunya pembinaan kecerdasan ekologis sebagai kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan dimana tempat manusia berada.
Kecerdasan ekologis (ecological intelligence) merupakan kemampuan dan kompetensi untuk menginisiasi, menguatkan, mewujudkan, mensosialisasikan dan membudayakan tanggung jawab terhadap perlindungan dan keberlanjutan lingkungan (environment features).
Kecerdasan ekologis memadukan keterampilan kognitif dengan empati terhadap segala bentuk kehidupan yang membuat kita mampu melihat keterkaitan antara tindakan kita dan dampak tersembunyi yang ditimbulkannya terhadap bumi, kesehatan, dan sistem sosial kita.
Hal utama yang dibutuhkan untuk membentuk kecerdasan ekologis adalah kesadaran (awareness) dalam hubungannya dengan pelestarian lingkungan. Kesadaran ini tidak meningkat dengan sendirinya, tetapi harus dilakukan melalui pembinaan, pendidikan, dan pembiasaan. Lewat pendidikan, kecerdasan ekologis tersebut bukan hanya berkembang pada tingkat perseorangan tetapi harus berkembang menjadi sebuah kecerdasan yang bersifat kolektif, dan selanjutnya menjadi kesadaran kolektif.
Manusia yang cerdas ekologis tentunya mampu menempatkan diri sebagai kontrol lingkungan yang dituangkan dalam sikap dan perilaku nyata kala mempelakukan alam. Dengan demikian, alam semesta bukan hanya sumber eksploitasi tetapi rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata, bukan dihancurkan.
Kearifan Lokal sebagai Kecerdasan Ekologis
Salah satu wujud nyata dari kecerdasan ekologis adalah dengan memberdayakan perspektif kearifan lokal masyarakat. Substansi kearifan lokal ialah berlakunya nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat dan mewarnai perilaku hidup masyarakat tersebut. Kearifan lokal tersebut memiliki nilai-nilai ekologis serta prinsip pelestarian lingkungan sebagai bentuk kecerdasan ekologis masyarakat. Ikatan terhadap lingkungan alam sekitarnya menjadi bagian dalam sistem nilai yang secara khusus dalam bentuk norma atau aturan-aturan dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya. Sehingga istilah kecerdasan ekologis ini, dalam kajian William Chang (2009) diartikan dengan “kearifan lokal berwawasan ekologis”.
Alam itu sendiri menjadi sumber pengetahuan mereka. Seperti halnya masyarakat Minangkabau menamakan daerahnya dengan sebutan alam Minangkabau. Penggunaan kata alam mempunyai makna yang dalam. Penamaan alam Minangkabau menunjukkan bahwa orang Minangkabau sangat tergantung dengan alam. Dalam konteks epistemologi, pola konsepsi masyarakat dibangun melalui pengamatan terhadap fenomena alam tempat mereka tinggal. Bentuk, sifat, dan ciri alam dimetaforakan ke segala aspek kehidupan, untuk dijadikan sumber inspirasi pengetahuan dan sekaligus pandangan hidup. Sehingga kedudukan dan pengaruh penting alam dalam filsafat adat Minangkabau dinukilkan dalam pepatah adat sebagai berikut, “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak ka nyiru, nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru” ( penakik pisang siraut, ambil galah batang lintabung, selodang ambil untuk niru, yang setetes jadikan laut, yang sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).
Suku Baduy juga memegang teguh “pikukuh karuhun” yang di dalamnya termuat berbagai aturan yang secara keseluruhan bertujuan untuk melindungi alam. Suku Baduy adalah kelompok etnis yang hidup berdampingan dengan alam, terletak di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa alam adalah salah satu titipan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga dan dilestarikan. Hal itu sesuai dengan prinsip ajaran maupun filosofis masyarakat Baduy yaitu, “Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang dirobah, Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung. Nu lain kudu dilainkeun, Nu ulah kudu diulahkeun, Nu enya kudu dienyakeun” (Gunung tak boleh dihancurkan, Lembah tak boleh di rusak, Larangan tak boleh dilanggar, Buyut (Leluhur) tak boleh diubah, Panjang tak boleh dipotong, Pendek tak boleh disambung. Yang bukan harus ditolak, Yang jangan harus dilarang dan Yang benar haruslah dibenarkan).
Dengan demikian, kecerdasan ekologis dalam perspektif kearifan lokal diharapkan menjadi bahan pemikiran yang konstruktif bagi perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan. Hal ini bukan saja sebagai prasyarat untuk pembangunan, tetapi juga untuk keberlanjutan kehidupan. Di samping itu, kecerdasan ekologis akan mencegah atau meminimalisasi terjadinya bencana berulang di negeri ini. (Penulis : Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum)