BANDUNG BBCom– Implementasi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah hampir tiga tahun disahkan ternyata dalam impelementasinya masih menyisakan sejumlah persoalan terutama dalam hal kewenangan daerah baik provinsi maupun kab/kota.
Hal tersebut mengemuka saat Pansus II DPRD Provinsi Jawa barat yang melakukan pembahasan Raperda Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah melakukan rapat kerja dengan Dinas Pendidikan, Dinas Kehutananm, Dinsa ESDM, Biro Pemerintahan Umum dan Biro Hukum Provinsi Jawa Barat (22/5) dipimpin Ketua Pansus II, Kusnadi.
Pada rapat tersebut, Kepala Dinas ESDM, Eddy Nasution menyampaikan sejumlah kendala terkait alih kelola perizinan tambang yang semula oleh kab/kota kemudian dialihkan ke provinsi.
Menurut Eddy. Pihaknya menemui kendala data-data dan informasi terkait perizinan tambang yang sampai saat ini belum diserahkan oleh kab/kota, termasuk aset yang masih dikuasai oleh kab/kota. Hal lain menurut Eddy adalah masalah anggaran yang tidak sesuai dengan tugas yang diberikan.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, pejabat di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat juga mengemukakan hal yang hampir sama.
Masalah yang dihadapi Pemerintah Jawa Barat terkait pelimpahan atau alih kelola jenjang pendidikan menengah adalah akibat adanya pelimpahan tersebut otomatis beban anggaran dan personil pemprov bertambah secara signifikan.
“Tenaga guru non PNS pun yang mencapai kurang lebih 29 ribu kini menjadi beban Pemprov yang tidak mungkin dikelola lagi oleh kab/kota.”
Menanggapi hal tersebut, Anggota Pansus Maman Abdurachman mengakui masalah alih kelola pendidikan oleh provinsi memang berat. Ini karena menyangkut kesejahteraan istri, anak atau suami tenaga pengajar.
Sementara mengenai ijin galian C, Maman mengatakan setidaknya kini masalah penambangan liar bisa dikontrol oleh provinsi, karena provinsi yang ajan memberikan rekomendasi.
Anggota pansus, Habib Muhammad Syarief terkait implementasi UU Pemerintahan Daerah ini menimbulkan implikasi dan konsekuensi diantaranya tidak ada ketegasan mengenai penganggaran.
“ Ini menjadi beban provinsi malah terkadang kita yang terkena getahnya,” cetusnya.
Hal lain menurut Habis adalah tidak adanya kesepahaman yang utuh antara kab/kota dan provinsi mengenai alih personalia serta juklak atau juknis yang terkadang tumpang tindih atau overlap. Terlebih bila kemudia muncul surat edaran dari kementeria yang tidak sinkron.
Hal yang sama dikemukakan Abdul Hadi Wijaya yang mengatakan alih kelola atau alih kewenangan oleh pemprov namun pusat tidak mengimbanginya dengan kebijakan penganggaran yang sesuai.(***)