BANDUNG | BBCOM | Wakil Ketua Komisi V, Abdul Hadi Wijaya yang juga menjadi anggota Pantia Khusus (Pansus) VII Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat yang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren, menilai disahkannya Perda Pesantren menjadi fenomenal karena diharapkan anyak pihak.
“Perda ini adalah perda yang fenomenal, harus kita sampaikan seperti itu, karena ketika kita berkunjung, baik sebagai pansus maupun sebagai komisi di luar daerah, semuanya terkesima, teman-teman yang ada di dprd setempat juga, ketika disampaikan ke kabupaten kota, mereka juga sangat menunggu untuk membuat turunannya,” ungkap politisi PKS yang akrab disapa Gus Ahad ini, saat dihubungi bandungberita.com melalui aplikasi pesan singkat, Selasa (2/2).
Lebih lanjut, Gus Ahad menjelaskan, Perda Pesantren memiliki tiga fungsi utama, diantaranya pesatren sebagai sarana pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Namun, karena fungsi pendidikan melekat pada kewenangan Kementerian Agama. “Maka kami fokus disini untuk pemberdayaan masyarakat dan dakwahnya, kita mendengar banyak masalah yang perlu kita selesaikan dengan landasan hukum yang kuat, atau setingkat perda,” ungkapnya.
Salah satunya adalah, terkait pemberdayaan pesantren dan fasilitas dakwahnya yang sering terhambat oleh kurangnya keterlibatan pesantren dalam program yang digulirkan pemerintah. “Contohnya, terkait pengentasan kemiskinan, pencerdasan atau berkaitan peningkatan sumber daya manusia dan peningkatan ekonomi, pesantren belum termasuk,” jelasnya.
Jadi, selama ini Pemprov Jawa Barat sangat melihatnya dalam organisasi formal. “Seperti desa, bumdes, karang taruna,kelompok organisasi kemasyarakatan, dan lain sebagainya,” ungkapnya. Menurutnya, pesantren dipandang sebagai lembaga yang masih belum seratus persen formal dan sering terlupakan. “Perda ini mengingatkan, bahkan mencantumkan urusan-urusan di provinsi Jawa Barat yang wajib memasukkan pesantren ini sebagai cpcl, sebagai fokus kerjanya,” ungkapnya.
Kemudian, lanjut Gus Ahad, untuk pembangunan fisik selama ini pesantren sangat bergantung pada inisiatif pengelolanya. “Ada dua jalur (di Jawa Barat), jalur Yanbangsos, dan kemudian jalur dewan. Jadi, terjadi semacam pengkotakan, yaitu dekat dengan alat tertentu atau dekat dengan pemerintahan, pesantrennya makmur, ada juga dekat dengan aliran politik tertentu dan lain sebagainya,” ungkapnya.
nah kita lakukan ini agar nanti menjadi program di provinsi-provinsi mulai tahun 2022 agar pesantren tidak perlu lagi saling bersusah payah mencari jalan, yang pada akhirnya pesantren seolah menjadi komoditas politik oleh politisi kita, dibantu, asalkan mereka mendukung dan sebagainya.
Inilah yang sangat tidak sehat, pesantren-pesantren besar akhirnya memanfaatkan popularitasnya sebagai tolak ukur untuk tawar-menawar. “Ini praktek yang ada di lapangan, kami masih menjumpai seperti itu, dengan peraturan pesantren ini ada perencanaan, pembangunan, pemerataan, dan pemberdayaan. Jadi, ini sebenarnya hadiah untuk umat Islam di seluruh Indonesia, khususnya di Jawa Barat,” pungkasnya. (adv/pr)