OKI | BBCOM – Sengketa lahan antara PT Perkebunan Sawit Mandiri (PT PSM) dan masyarakat Pedamaran kini menjadi sorotan publik. Perbincangan hangat muncul di tengah masyarakat, yang menyampaikan berbagai kritik baik kepada pemerintah maupun pihak perusahaan.
Salah satu warga Pedamaran yang diwawancarai oleh media mengungkapkan kekecewaannya terhadap keberadaan perusahaan di wilayah mereka.
“Sebenarnya, keberadaan perusahaan di wilayah Pedamaran ini bukannya membawa kesejahteraan, tapi justru menambah penderitaan masyarakat. Terbukti, dari sekian banyak karyawan di perusahaan itu, hanya satu dua orang saja yang berasal dari sini. Selebihnya dari luar daerah. Kalaupun ada warga lokal yang bekerja, itu pun hanya sebagai buruh harian lepas,” ujar warga tersebut.
Kritik tajam juga disampaikan terhadap aparat pemerintahan desa. Warga menilai konflik ini seharusnya bisa dicegah apabila pemerintah lebih berpihak kepada masyarakat.
“Sengketa seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah desa benar-benar memikirkan kepentingan warganya, bukan semata-mata mencari keuntungan pribadi. Padahal jika melihat luasnya lahan sawit yang dikelola, seharusnya masyarakat Pedamaran bisa sejahtera. Tapi kenyataannya malah seperti ini. Mudah-mudahan masalah ini cepat selesai,” lanjutnya dengan nada kecewa.
Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Serikat Pemuda Masyarakat Sumsel (SPMS), Yopy Metta, menyampaikan tanggapannya terkait sengketa lahan ini. Dalam pernyataan yang disampaikan melalui pesan WhatsApp pada Jumat, 9 Mei 2025, Yopy menyoroti kewajiban dan larangan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
Menurut Yopy, pemegang HGU wajib mengusahakan tanah sesuai peruntukannya, menjaga lingkungan, membangun fasilitas sosial, memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling sedikit 20 persen dari luas lahan, serta menyerahkan kembali tanah jika hak telah habis atau dicabut.
Ia juga menegaskan bahwa pemegang HGU dilarang menutup akses publik, membakar lahan, merusak lingkungan, menelantarkan tanah, dan mendirikan bangunan permanen yang mengganggu fungsi konservasi.
“Pertanyaannya sekarang, apakah PT PSM telah memenuhi semua kewajiban tersebut? Kami menilai belum. Salah satunya adalah soal kebun plasma yang sampai sekarang belum disediakan oleh PT PSM, padahal luas lahannya mencapai 4.700 hektare. Ini jelas pelanggaran yang memiliki konsekuensi hukum,” tegas Yopy.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa pihaknya akan kembali melakukan aksi protes untuk mendesak penyelesaian permasalahan ini secara adil dan transparan.
Sebagaimana dikutip dari Hukumonline, HGU dapat berakhir atau dialihkan kepada pihak lain jika jangka waktunya habis, dicabut untuk kepentingan umum, atau karena pelanggaran tertentu. Bila tidak dilepaskan sesuai ketentuan, hak tersebut dapat gugur secara hukum, namun hak pihak ketiga akan tetap dipertimbangkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pani)