Pernikahan Dini dan Upaya Menyelamatkan Generasi dengan Solusi Islam

gambar ilustrasi (dok/ist)

Oleh : Tawati (Aktivis Muslimah Majalengka dan Revowriter)

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat memperkuat peran Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di tingkat kabupaten dan kota guna mencegah pernikahan pada usia dini.

“Upaya kami untuk menekan agar tidak ada praktik pernikahan anak, terlebih karena kehamilan yang tidak diinginkan, saat ini ialah dengan mendorong pembentukan dan penguatan Puspaga di kabupaten/kota,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat Agung Kim Fajar Wiyati Oka (Selasa, 17/1/2023) lalu.

Di sistem hari ini, pernikahan pada usia dini hanya akan memunculkan masalah berkelanjutan yang tidak hanya berdampak pada aspek sosial budaya masyarakat, tetapi sampai kepada goyahnya aspek kesehatan dan ekonomi rakyat.

Pernikahan pada anak usia di bawah 19 tahun disebut-sebut juga sebagai akibat tingginya tingkat kemiskinan ekstrim dan menjadi benih merebaknya angka KDRT di tanah air.

Pemerintah pun telah memberlakukan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan sebagai pengganti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengharuskan usia minimal menikah 19 tahun.

Mengurai Akar Masalah

Namun, jika kita menilik kasus pernikahan dini dikarenakan oleh Marriage by Accident (MBA), tentulah yang perlu dicermati justru akar masalah perkara tersebut. Dengan merebaknya aktivitas zina di kalangan masyarakat yang banyak dilakoni oleh kaum pelajar negeri ini, tentulah menjadikan angka kasus hamil di luar pernikahan kian meningkat pula.

Apalagi hukum sekular liberal negeri ini memandang bahwa aktivitas zina bukanlah suatu tindakan kriminal yang dapat diperkarakan ke pengadilan jika didasari atas rasa suka sama suka, tanpa paksaan dan tidak adanya pengaduan dari pihak lain sebagaimana tercantum dalam KUHP teranyar.

Sehingga wajar jika masyarakat justru mencari solusi lain melalui pendekatan “kekeluargaan”, semisal menikahkan pasangan zina yang dimana wanitanya telah mengandung untuk menghindari cemoohan penduduk sekitar.

Padahal solusi semacam ini tetap saja tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada, malah justru seakan-akan menjadi pelegalan bagi remaja untuk melakukan seks bebas.

Belum lagi dengan kendornya pengawasan orang tua terutama para orang tua pekerja, menjadikan pendidikan anak di dalam rumah menjadi terabaikan dan justru digantikan perannya oleh keberadaan gadget dan media.

Padahal kini kian menjamur tontonan di televisi yang bertemakan remaja, yang nyatanya justru berisikan propaganda untuk melegalkan aktivitas mendekati zina dan justru menjadikan kehidupan seks bebas menjadi fenomena sehari-hari di tengah-tengah generasi muda.

Diperparah dengan semakin gencarnya kampanye ide-ide kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan hak bereproduksi, yang diusung dan didukung oleh media baik itu media cetak atau pun digital.

Buah Sistem Sekuler

Ironisnya sistem pendidikan sekular negeri ini kian menjerumuskan kaum kawula muda dalam kehidupan materialistis-hedonis-apatis. Dengan bergesernya fokus pendidikan Indonesia dari mencetak generasi muda yang beriman dan bertakwa disertai dengan akhlak mulia, menjadi anak-anak yang hanya perduli pada nilai, tingkat manfaat dan kepuasan materi belaka.

Minimnya pondasi akidah umat baik yang diberikan di rumah maupun sekolah, ditambah dengan kian gencarnya narasi moderasi beragama dan hidup bebas membuat para pemuda kehilangan visi misi hidup yang benar dan hanya fokus pada pemenuhan birahi dan syahwat.

Sedangkan dampak pernikahan dini bagi perekonomian negeri, tentu saja perlu pendalaman lebih lanjut. Secara nyata kita melihat betapa nelangsanya kondisi perekonomian rakyat dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis yang tidak berpihak pada rakyat banyak dan hanya memenuhi kepuasan kaum korporat.

Ketidakberpihakan sistem ekonomi kapitalis pada distribusi kekayaan masyarakat kecil membuat banyak pelajar negeri ini yang terpaksa harus putus sekolah dan menyambung hidup dengan bekerja.

Lebih jauh tidak sedikit para ibu yang kemudian memilih untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang justru mengorbankan pendidikan anak di dalam rumah.

Maka, sejatinya tingginya tingkat kemiskinan ekstrim negeri ini bukan berasal dari merebaknya angka pernikahan dini, melainkan karena diberlakukannya sistem perekonomian kapitalis yang tidak memberikan kesejahteraan pada kehidupan umat.

Dari sini kita melihat bagaimana bobroknya kehidupan umat baik pada level kehidupan berkeluarga, masyarakat hingga bernegara justru disebabkan oleh penerapan sistem kehidupan kapitalis-liberal saat ini.

Dimana penerapan akidah yang benar baik di dalam rumah maupun sekolah bagi generasi muda tidak terealisasi, yang pada akhirnya memunculkan banyak permasalahan termasuk di dalamnya kehidupan seks bebas.

Dan lemahnya perekonomian kapitalis menjadikan peran ibu sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak hilang, yang tidak sedikit pula memaksa anak-anak ikut membanting tulang guna mengais rezeki.

Ditambah dengan rezim yang berlepas tangan dalam permasalahan remaja dan hanya menyalahkan fenomena pernikahan dini, menjadikan penguasa hanya fokus membuat kebijakan-kebijakan yang sebetulnya tidak menyentuh akar permasalahan umat.

Solusi Islam

Padahal pernikahan “dini” yang didasari dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya, disertai dengan pengetahuan yang cukup tentang sistem pergaulan Islam bisa menjadi solusi praktis menghilangkan kehidupan seks bebas.

Bahkan pernikahan “dini” yang selama ini dikambinghitamkan sistem kapitalis-liberal, jika disertai pondasi agama (Islam) yang kuat dan dijalankan oleh generasi muda yang taat pada Islam kafah, justru akan memunculkan generasi-generasi gemilang yang mampu meninggikan derajat umat.

Bersama dengan sistem pendidikan Islam yang memfokuskan programnya pada pembangunan kepribadian individu berasaskan Al-quran dan as-sunnah, akan membentuk pribadi-pribadi yang kuat dan terhindar dari perilaku maksiat.

Bahkan sistem sosial budaya Islam yang bersinergi dengan keadilan dalam sistem ekonomi Islam akan mampu menjamin kesejahteraan dan keharmonisan kehidupaan umat yang tentu saja dapat memaksimalkan seluruh potensi generasi mudanya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *