PERJUANGAN MALAIKAT TAK BERSAYAP

Ibu. Siapa yang tak kenal sosok tersebut? Sosok yang hampir selalu menjadi teladan tiap anak, sosok yang tak mengenal lelah, dan sosok yang selalu diibaratkan dengan malaikat tanpa sayap. Tanpa seorang ibu, tak ada pula kita di dunia. Begitupun dengan aku. Seorang anak yang dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama ibu.

Perjuangannya mengandungku selama 9 bulan pun tidak berhenti begitu saja. Ia tetap harus membimbingku. Bahkan, hingga saat ini pun sosoknya masih terus membimbingku dan akan terus aku butuhkan bimbingannya.

***

Cr : Pinterest

Rini Susanti, sosok wanita yang telah memperjuangkan hidupnya demi diriku, anaknya. Aku, anaknya yang sering tidak patuh kepadanya karena keegoisan diri sendiri. Aku, anaknya yang sering diam-diam memaki dirinya karena merasa tidak dimengerti. Aku, anaknya yang masih belum bisa sesempurna dirinya tapi sudah merasa lebih hebat darinya.

Perjuangannya nyata, tak sebatas diriku saja, Ia juga memperjuangkan ekonomi keluarga, sendirian.

Sudah bertahun-tahun lamanya Ia membiayai keluarga seorang diri. Bukan, bukan karena aku sudah tidak memiliki seorang ayah, melainkan ayah sudah keluar dari pekerjaan sebelumnya dan sekarang Ibu lah yang harus membiayai seorang diri.

Dengan upah yang tidak terlalu besar tiap bulannya, ibu dapat mengelola hal tersebut dengan baik. Bahkan, masih dapat menyisihkan sebagian upah tersebut jikalau aku atau adik-adikku secara mendadak meminta untuk membeli suatu keperluan. Tetapi, Tuhan itu adil. Aku yang selalu merasakan dapat membeli apapun dengan mudah, seketika harus merasakan kesulitan.

Kesulitan yang tak pernah terpikirkan oleh diriku. Kesulitan yang dengan tiba-tiba datang tanpa aku sadari sebelumnya. Kesulitan yang pada awalnya aku berfikir semua masih bisa dilalui sama seperti semula, sampai pada satu kesempatan, aku pun sadar akan hal tersebut.

Kondisi ekonomi yang sebelumnya sedang stabil, seketika terguncang. Operasi, iya, karena operasi, upah yang didapat dan disisihkan pun masih belum cukup untuk membayar proses hingga perawatan setelahnya. Hal ini membuat ibu harus terpaksa meminjam kepada saudara.

Namun, bukan ibu namanya jika tidak bisa bersikap seakan tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Ibu tetap menjalani aktivitas seperti biasa dan juga mengambil alih tugas ayah. Bangun subuh untuk salat dan mengurus keluarga, mengantar adik paling kecil ke sekolah, pergi bekerja, menjemput adik dari sekolah pada sore harinya, dan mengurus keluarga lagi hingga menjelang waktu tidurnya.

Semua dilakukannya seorang diri.

Sangat jarang ibu memintaku untuk membantunya, paling ibu hanya memintaku untuk menjemput adik dari sekolah, itu pun saat aku sudah ada di rumah atau saat aku tidak tidur. Sebenarnya aku sangat ingin mengambil alih tugas menjemput itu, setidaknya dapat meringankan sedikit pekerjaan ibu, tetapi jarak yang jauh antara kampus dengan rumah membuatku terpaksa bersikap seperti tidak peduli dan lebih mementingkan diri sendiri.

Pernah satu hari saat akan melakukan kontrol setelah ayah dioperasi, ibu menanyakan apakah aku memiliki satu hari libur antara Senin s.d. Jumat dan aku menjawab tidak. Ibu pun tidak memaksaku untuk tidak masuk dan berdiam di rumah.

Entah apa yang ada dipikiranku, aku sama sekali tidak menawarkan diri untuk bertanya lebih lanjut dan kembali fokus untuk belajar.

Hingga pada hari kontrol itu tiba, aku yang melihat ibu pulang dengan wajah yang sangat lelah, perasaan bersalah pun mulai bermunculan. Namun, tidak ada satu pun kalimat yang terucap. Aku hanya membantu sewajarnya saja. Semakin beranjak dewasa, semakin sulit rasanya untuk aku mengungkapkan apa yang dirasakan.

Apa yang aku lakukan masih sangat jauh jika dibandingkan dengan perjuangan ibu. Hingga saat ini, aku hanya bisa melakukan hal yang menurutku sudah baik dan berusaha tidak mengecewakan ibu. Rasanya sangat mustahil jika aku dapat membalas semua perjuangannya, bahkan setengahnya saja pun aku tidak yakin.

Memang di dunia ini tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan perjuangan, kasih sayang, dan kebaikan seorang ibu. Aku akan terus menyayangi dan berbakti kepadamu, bu.

                                                                                                                                                Tiara Syifa, Politeknik Negeri Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *