Menyambut Tahun Baru Islam dan Menafsirkan Kembali Semangat Hijrah Nabi

Gambar Ilustrasi. (dok/ist)

DALAM penanggalan kaum muslimin atau kalender Hijrah sudah menjadi konsensus para ulama bahwa 1 Muharam dijadikan bulan pertama atau tahun baru dalam penanggalan Islam sejak era para sahabat Nabi, penaggalan tersebut digunakan sampai sekarang. Meski Hijrah Nabi Muhammad SAW dalam catatan para ulama sejarah islam masa lampau, mereka menyebut Hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awal.

Sudah menjadi karakter suku-suku di Mekah melakukan perpindahan (Hijrah) dari tempat menetap ke tempat lain atau dalam istilah teori sosiologi modern disebut masyarakat nomaden. Kehidupan nomaden masyrakat Mekah menurut sejumlah sarjana muslim menyebutkan, kelompok-kelompok di Mekah di masa lalu selalu paradoksal dengan sistem peradaban baru. Katanya setiap kali budaya nomaden dan budaya menetap bertemu, maka terjadilah konflik dan pertumpahan. Sifat-sifat yang sangat dihargai dalam tradisi nomaden menurut sejumlah ulama yaitu soal keningratan, keberanian, dan kedermawanan, serta mereka enggan tunduk kepada orang lain, sebagaimana istilah dalam kesarjanaan muslim klasik Ibn Khaldun (w.808 H) bahwa karakter masyarakat Mekah bisa disebut; Masyarakat pedesaan, Umran al-Badawi. Bukan masyarakat kota, Umran al-Hadhari.

Ketika Nabi Muhammad SAW di Mekah menawarkan pada masyarakat Mekah tentang ajaran dan konsep-konsep baru dalam kehidupan ber-agama, akan tetapi apa yang ditawarkan Nabi tidak sepenuhnya berhasil, setidaknya sebelas tahun di Mekah hanya ada sejumlah kerabat dekat dan beberapa penduduk Mekah yang bisa menerima ajaran dan gagasan Nabi Muhammad SAW.

Selama berada di Mekah bagi Nabi Muhammad SAW dan para kerabatnya merupakan pase krisis; intimidasi dari penduduk setempat, perekonomian diboikot oleh para aristokrasi Mekah, bahkan mendapat kekerasan pisik.
Nabi Muhammad SAW dan kerabatnya memutuskan untuk bermegrasi atau melakukan suaka politik ke tempat lain. Negeri Habsyah adalah tempat yang dipilih oleh Muhammad untuk meminta suaka petama kali. Namun, suaka tersebut ditolak. Pada akhirnya Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk megrasi ke Yatsrib atau Madinah.

Ibn Katsir (w.774 H) mufasir dan juga sejarawan muslim klasik dalam karyanya al-Bidayah wa al-Nihayah mengatakan: Nabi Muhammad SAW bermegarasi ke kota Yatsrib adalah cukup terilahami dengan doa yang disuruh Tuhan dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 80 : “ ..Tuhan ku, masukanlah aku pada tempat benar. Dan keluarkanlah aku pada tempat benar pula. Jadikanlah buat diriku di sisi-Mu Pelindung serta Penolong ”. Allah telah mengizinkan Muhammad berhijrah ke Madinah untuk dijadikan tempat sekaligus para penduduknya dijadikan penolong. ( Bidayah Wa al-Nihayah. Jilid.III : 173).

Sachiko Murata dan William C Chittick dalam pendahuluan The Vision of Islam mengatakan : Bertolak pada tahun 622 M. Nabi Muhammad SAW bermegrasi ke kota Yatsrib, sekitar dua ratus mil utara kota Mekkah. Setelah sekitar sepuluh hari mengikuti rute berputar untuk menghindari kejaran para musuh, nabi sampai di Yatsrib. Tidak berselang lama, Yatsrib disebut Madinah al-Nabi ( Perpindahan Muhammad ke Madinah.) Ini merupakan titik awal perjuangan pencapaian Nabi Muhammad SAW. Mulai saat itu, dengan kemunduran kecil, agama yang dibawa nabi berkembang pesat. Oleh karena itu Hijrah diambil sebagai tahun pertama Islam. Sepuluh tahun nabi hidup di Madinah merupakan priode konsolidasi. Mekah ditaklukan tanpa pertumpahan darah, “puisi” memenangkan pertempuran dan semua bangsa Arab memeluk agama baru, Islam.

Hijrah bisa di katakan semangat agama dan tradisi, tujuannya adalah membebaskan dari kooptasi para aristokrasi di Mekah menuju semangat pesaudaran humanisme di Madinah. Semangat Islam pada saat itu pesan-pesanya pun merupakan instrumen-instrumen agama atau simbolisasi Islam, Syi’ar Islam. Misal, pertama kali tiba di Madinah Nabi membangun material tempat ibadah, Masjid.

Masjid selain tempat ritus menyembah Allah merupakan, juga kala itu berfungsi sebagai aktivitas sosial dari kelompok Muhajirin dan Anshar sekaligus mempertemukan persaudaraan dari suku-suku yang berada di Madinah.
Oleh sebab itu perintah Islam pertama kali di Madinah adalah terkait dengan nilai-nilai kebersamaan, yaitu salat Jum’at. Lalu disusul dengan perintah terkait pendistribusian harta, yaitu Zakat dan seterusnya. Sepenuhnya pesan-pesan agama di Madinah bermuara pada aspek-aspek sosial yang konvertibel bisa berevolusi terus menerus sesuai dengan konteks dan semangat jaman.

Membincang Hadits Tentang Hijrah

Pada saat yang sama menurut catatan para sarjana Hadits ; konon Umar Ibnu Khatab pernah berkata dihadapan kaum muslimin yang akan berangkat berhijrah : ”Setiap perbuatan tergantung niat dan setiap urusan pun tergantung niat dan siapa saja beremigrasi kepada Allah dan rasul-Nya. Maka, ia berpindah untuk-Allah dan rasul-Nya. Dan siapa saja yang pindah untuk bisnis berarti pindahnya untuk urusan tersebut atau siapa saja berpindah untuk perempuan yang akan dinikahinya. Maka, pindahnya pun untuk perempuan tersebut”.

Perkataan tersebut di atas dinisbatkan pada nabi atau sebagai hadits nabi yang diverbalkan oleh Umar. Para sarjana hadits seperti Al-Bukhari dan Muslim merekam perkataan umar di atas dalam karya mereka. Hadits tersebut populer di kalangan para sarjana Hadits dan Fuqaha Islam sebagai sabda nabi tentang niat dan hijrah.

Ketika Nabi berhijrah dari Mekah ke Madinah, para sahabat Nabi berangkat menyusulnya, dan sebagian sahabat berangkat atas dasar pertimbanagan bisnis ada juga yang berangkatnya untuk menyusul pacarnya. Meski dalam catatan para sejarawan muslim klasik belum menemukan perkataan Nabi tersebut; sebagai hubungan langsung dengan peristiwa pada kalender hijrah atau tahun baru Islam. Sabda Nabi tersebut di atas dikomunikasikan oleh Umar Ibnu Khatab pada peristiwa hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah,atau disebut asbab al-Wurud dalam ilmu hadits. Perkiraan menurut para sejarawan muslim terjadi hijrah Nabi itu pada bulan Rabi’ul Awal. Terlepas dari semua itu, pada ruang ini kita lebih menelisik pada subtansi tentang Hijrah tersebut.

Hadits di atas juga banyak mengilhami para sufi dalam merumuskan teori ketulusan, dan para fuqaha, ahli hukum Islam bersandar pula pada hadits tersebut; ketika mengurai mengenai kewajiban niat ketika melaksanakan segala bentuk yang berhubungan langsung dengan ibadah maupun motiv sosial. Berdasarkan teori inilah para fuqaha mengtakan; bahwa segala bentuk ibadat tanpa didasari dengan (niat) akan menjadi batal.

Teks Nabi di atas merupakan tuntutan ketaatan bagi penganut konsepsi Islam yang literalis. Di mana sesorang dalam melaksanakan tugas apa pun sepenuhnya harus lillah. Meski demikian bagi kelompok rasional yang radikal dimensi lilah tersebut cukup sulit didefinisikan secara konkret, apalagi dalam konteks kekinian. Ketika teks dijadikan superior dalam menghadapi problem kemanusian, kata mereka ini akan menjadi ambigu sekaligus membahayakan. Menelaah hadist di atas, berarti orang yang bermegrasi atas dasar pertimbangan bisnis dan untuk tujuan menyusul seorang wanita pada pristiwa hijrah di atas merupakan bentuk niat yang salah?.

Lebih jauh para penganut pemikiran Islam modern mengkaji bagaimana dalam konteks kekinian, ketika prinsif-prinsif ketuhanan sudah begitu mapan, di mana kita jarang menemukan manusia tidak percaya pada Tuhan, semuanya meyakini itu, meski dalam sejumlah data tak sedikit para penganut monoteis ada yang bergeser pada ateisme. Dua unsur (kebutuhan biologis dan meteri ) adalah kebutuhan manusia yang sangat mendasar, yaitu material penting dalam kehidupan modern maupun dalam kehidupan pra-modern.

Umar Ibn Khatab dalam hadits di atas tidak mengatakan; bahwa orang yang hijrahnya kepada selain Allah dan Rasul-Nya sepenuhnya salah. Tapi, bisa jadi orang yang pindah untuk menikah perempuan tersebut mengandung sepirit ke Tuhanan (ibadah), atau orang yang hijrah untuk berdagang juga memuat semangat ketuhanan (untuk membantu kemanusian). Karena seluruhnya apa yang dilakukan itu bersandar pada semangat fitrah agama dan nilai humanis sebagaimana semangat hijrah, yaitu motivisinya (niat).

Dua bentuk material berdimensi nilai-nilai ketuhanan; menikah dan berdagang, bukan merupakan bentuk-bentuk yang bertentangan dengan semangat agama. Karena praktek tersebut atau apapun material lainnya semuanya anjuran dari spirit ke-Tuhanan. Tidak ada manusia yang tidak butuh dengan kebutuhan biologis. Ini adalah semangat al-Qur’an “telah dihiasi kehidupan manusia itu dengan menyukai lawan jenis”, Zuyin linas hubbu al-Syahwat min al-Nisa. Dan tidak ada manusia yang tidak butuh makan ” bertebaranlah kalian di muka bumi untuk mendapatkan karunia Tuhan” fantasyiru fi al-Ard min fadhlillah. Wallahu ‘Alam

Penulis : WS Abdul Aziz Katib Syuriah MWC NU Cicendo Kota Bandung

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *