Pada pukul 6 pagi seorang ibu dengan gendongan yang berisi daging ayam, arang, bumbu kacang, serta perlengkapan lainnya terlihat nampak bersemangat untuk mencari rezeki pada pagi itu. Beberapa tetes keringat yang bercucuran terlihat pada kening sang ibu tertanda dia sudah lelah berjalan kaki untuk berjualan. Meskipun beliau kelelahan namun wajahnya tak nampak raut wajah lesu, melainkan kebalikannya yaitu wajah penuh harapan agar dagangannya laku pagi ini.
Sesampainya di depan tempat wisata yaitu Hutan Pinus Pengger yang tepat berada di Jalan. Dlingo-Patuk sang ibu pun memutuskan untuk berhenti dan mulai menjajakan dagangan nya berupa sate ayam dan ketupat.
Beliau adalah ibu Sumiati, perempuan kuat berusia 55 tahun asal Yogyakarta. Sumiati adalah seorang penjual sate ayam keliling yang ada di kawasan Dlingo Patuk. Beliau sudah menikah dan memiliki dua orang putra yang sudah bekerja sekarang. Sementara sang suami telah meninggal 4 tahun yang lalu.
Awalnya dia bekerja sebagai buruh cuci di kota Bantul, Yogyakarta. Namun setelah anaknya lulus dan ibu mulai sakit-sakitan dia memutuskan untuk berjualan sate keliling. “Kalau berjualan sate disini mah enak nak,dekat dengan rumah.” Ujarnya.
Memang betul rumah Sumiati, cukup dekat dengan kawasan wisata alam Hutan Pinus Pengger ini. Jadi dengan memanfaatkan kesempatan ini beliau berjualan sate di depan pintu masuk Hutan Pinus Pengger.
Meskipun dengan sakit yang dideritanya ibu tidak bisa berdiam diri saja dirumah. Dengan semangat yang masih ada, ia pun langsung memutuskan untuk usaha, “Saya ingin menjalankan usaha itu karna saya tidak ingin nyusahin anak saya”, ujarnya saat ditemui.
Setiap hari Sumiati memulai aktivitas berdagangnya pada pukul 05.00, adalah waktu di mana udara kota Yogyakarta masih dingin dengan balutan kabut tebalnya. Kemudian pada pukul 10.00 iamengakhiri berdagangnya. Namun ternyata, waktu itu tidak menentu. Kadang ia pulang lebih lama karena menunggu dagangannya habis. Bahkan pernah suatu ketika dagangannya tidak laku sama sekali karena kehujanan.
Dagangan sate Sumiati berbeda dengan pedagang sate lainnya. Apabila pedangang sate biasa membawa gerobak, sementara ia membawa dagangannya dengan gendongan, seperti penjual jamu gendong. Sudah pasti resiko nya lebih besar, dan lebih berat pula beban yang harus dibawa olah Sumiati.
“Saya nggak akan menyerah, yang penting lancar jualannya”, ujarnya lagi, sambil mengipasi sate.
Ibu Sumiati, seorang pedagang sate gendong keliling asal Yogyakarta. Sosok perempuan kuat yang bisa menjadi contoh bagi para perempuan lainnya agar tidak mudah menyerah, dan tetap kuat. (Nasya Amarani – Politeknik Negeri Jakarta)