Dibalik Sucinya Bulan Ramadhan

Bulan suci Ramadhan adalah bulan di mana kita diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk meraih pahala yang sangat besar. Seperti berpuasa, sholat tarawih dan masih banyak lagii kebaikan-kebaikan yang itu sangat mudah dijalankan. Adapun kebiasaan-kebiasaan warga kampung yang selalu berlanjut dari Ramadhan ke Ramadhan, seperti keliling membangunkan sahur menggunakan bedug, angklung dan alat musik lainnya.

Bulan ini juga bulan di mana kita bisa menghabiskan banyak waktu dengan keluarga, seperti buka puasa, sahur, dan bahkan bisa sholat tarawih berjamaah bersama keluarga.

Berbeda denganku, sudah 2 kali Ramadhan aku tidak bersama keluarga karena aku harus berjuang menempuh pendidikan kuliah di ibu kota. Terkadang aku iri dengan teman-temanku yang sebelum maghrib bisa pulang ke rumah untuk buka puasa bersama keluarganya, tapi di sinilah aku belajar bagaimana hidup di tanah perantauan tanpa orangtua. Harus benar-benar bisa mandiri dan bisa mengatur waktu dan keuangan sebaik mungkin.

Banyak juga yang aku rindukan ketika Bulan Ramadhan di desa, seperti bermain petasan rame-rame, membuat kerajinan guna mengisi waktu kosong, menghias sekitaran desa menggunakan cat. Aku hampir tidak menemukan hal-hal seperti itu di Jakarta, yang ada malah banyak begal, banyak gangster, dan tawuran antar pemuda.

Hal itu membuatku miris dengan keadaan di kota karena dengan adanya mereka warga menjadi tidak bisa keluar rumah dengan bebas, tidak bisa menggunakan waktu Ramadhannya dengan baik karena takut menjadi korban mereka.

Bulan yang seharusnya suci ini sedikit ternodai oleh adanya mereka, di sini aku sebagai anak yang seumuran mereka sangat tidak respect dengan mereka karena kegiatan tersebut sangat tidak bermanfaat dan banyak merugikan dan meresahkan warga sekitar.

Banyak nyawa yang melayang dari korban hanya karena tujuan mereka ingin membesarkan nama gangsternya mereka dari gangster-gangster lainnya. Mereka tidak pernah memikirkan betapa sedihnya keluarga korban di rumah yang tiba-tiba mendengar berita bahwa anaknya mati di tangan gangster yang brutal itu. Polisi sudah berusaha mencegah adanya gangster tersebut, tetapi tetap saja banyak bibit-bibit mereka yang sudah di cuci otaknya untuk mengikuti rekam jejeaknya menjadi gangster. (Habib Awwaluddin/PNJ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *