Kami tidak tinggal di satu atap, bukan keluarga ataupun saudara. Bahkan kami tidak saling tahu satu sama lain sebelumnya. Namun, itu semua berubah semenjak pertemuan itu. Pertemuan yang menakdirkan kami untuk bersama dan melewati semua suka-duka dunia.
Dialah sahabat. Aku dan sahabatku adalah dua insan yang berbeda. Kami memiliki dua sifat yang berbeda, dan juga prinsip yang bertolak belakang. Namun, kami memiliki satu pemikiran yang sejalan. Kami saling menasihati dan membangun satu sama lain jika ada perbuatan yang salah atau tidak benar.
Setiap aku tertimpa suatu masalah, sahabatku selalu menolongku tanpa pamrih, membantu dan mencarikan jalan keluarnya. Bahkan ia selalu memastikan bahwa aku sudah baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya. Kami saling bahu-membahu satu sama lain layaknya seorang keluarga.
Guruku pernah berkata, “Bukan sahabat namanya kalau belum pernah bertengkar.” Tentu saja, aku dan sahabatku pernah bertengkar. Pertengkaran itu membuat kami sempat lost contact selama beberapa hari. Namun, setelah kejadian itu justru kami semakin akrab. Kami jadi lebih tahu dan mengerti kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Aku bisa dan sudah terbiasa dengan semua kekurangan sahabatku begitu pun sebaliknya.
Aku selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena aku selalu dikelilingi oleh orang-orang baik, berada di pergaulan yang benar, dan mempunyai sahabat yang begitu setia. Menegur bila berbuat salah, mengingatkan jika lupa beribadah, dan membantu jika sedang terjatuh. Jangan pernah lelah memarahi dan menasihatiku, tetaplah seperti ini, sahabatku. (Annisa Nur Fauzi)