Oleh : Gita Viryani.

Sejak pagi hingga malam, dipijaki olehnya lantai bumi ini. Meter demi meter, kilo demi kilo, tanpa ada rasa lelah, mengeluh, dan letih. Yang ada hanyalah semangatnya untuk tetap berdiri, dan memperjuangkan hidupnya serta sanak keluarga. Baginya, itu adalah tujuan hidup keduanya setelah mencari pahala.
Engganlah untuk berucap lelah, engganlah untuk berucap kurang, dan engganlah untuk berucap tidak mampu. Sungguh, kata-kata itu tidak sepadanya diucapkan untuk mengeluh. Silaunya sinar mentari, teriknya matahari serta dinginnya malam, bukan penghalang baginya untuk berhenti mencari nafkah.
Supri namanya, merupakan seorang ayah yang tegar dan memiliki dua orang gadis serta satu orang istri. Lapak Pemulung Sunan Giri merupakan tempat dimana mereka berteduh. Yap, sebuah lapak pemulung yang dipenuhi oleh gerobak-gerobak sampah.
Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah hal yang mudah. Tidak hanya tekanan ekonomi yang mengganggunya, tekanan batinpun dirasakan oleh Supri “saya sedih saya belum bisa jadi kepala keluarga yang baik”, ungkap kekecewaanya pada dirinya sendiri. Sontak tertegun hati saya saat mendengarnya.
Dizaman yang terkesan mudah dalam segala hal ini, tak dialami oleh Supri dan keluarga. Sampah demi sampah ia kumpulkan dengan badannya yang kurus kering dan dimasukannya sampah itu ke karung yang menjadi wadahnya untuk mencari nafkah.
“Mohon maaf, aa belum bisa membahagiakan keluarga” ucapnya dengan membasuh matanya yang mengeluarkan air mata. kata-kata yang terlontar dari mulutnya, tentu saja membuat hati manusia yang mendengar terdidih.
Pekerjaan yang menghasilkan gaji yang tak menentu membuat ia dan keluarga harus banting tulang demi memenuhi hidupnya. Jangankan memenuhi, untuk mencapai kata cukup pun sulit.
“perhari saya bisa mendapatkan Rp40,000 hingga Rp50,000 kalau lagi banyak, tapi kalau sedikit sampahnya, jadi dua hari sekali nimbangnya”.
Tidak mau mengeluh, Supri dengan ucap syukur berkata “alhamdulillah sekali saya mendapatkan keluarga yang mau membantu saya” . Istrinya merupakan seorang asisten rumah tangga dan anaknya yang masih duduk disekolah dasar bekerja untuk membantunya memulung.
Selain kebutuhan pangan, pendidikan anaknya merupakan prioritas bagi Supri. “aku bercita-cita menjadi dokter, mau bantu orang yang sakit dan gabisa beli obat” ucap Jovita, anak sulungnya yang masih duduk dibangku kelas 2 sekolah dasar. Cita-cita Jovita menjadi dokter bukanlah impian semata, hal tersebut dialaminya dan keluarga yang membuat ia bertekat untuk menjadi seorang dokter yang berjasa bagi sekitarnya.
Supri merupakan kepala keluarga yang gigih dan berhati lembut, sehingga hal itu tertanam dalam diri anak-anaknya. Ia haru sekaligus bangga dengan anak-anaknya yang ada disisinya entah bagaimana keadaan yang dijalaninya. (***)