ASIN MANIS PERJUANGAN PENJUAL KUE PUTU

“Ngiiiingg… Ngiiiiinggggg…Ngiiiiiingggg…”

Dari kejauhan suara melengking itu sudah terdengar. Telinga masyarakat rasanya sudah familier dan dapat dengan mudah menebak sumber suara tersebut. Ya, itu adalah suara dari gerobak penjual kue putu.

“Itu suaranya dari seruling,”ujar Pak Wastur saat ditanya sumber suara melengking,”ini sudah ciri khas, jika tengah malam berbunyi, orang-orang pasti sudah tahu bahwa ini jualan kue putu. Ya meskipun mereka tidak membeli, sih,”lanjutnya sambil tertawa.

Pak Wastur merupakan salah satu penjual jajanan tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. Sudah 21 tahun lamanya ia menjadi penjual kue putu. Mulai dari berkeliling dengan memikul barang dagangan di pundak hingga saat ini telah menggunakan gerobak.

Kue putu merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras ditambah dengan adonan gula merah ditengahnya. Kue ini biasanya dimasak menggunakan bambu di atas uap panas. Ditambah dengan taburan kelapa parut di atasnya, cita rasa asin manis dari kue ini semakin menggugah selera.

Lelaki kelahiran Brebes itu biasa berjualan dari pukul 16.00 hingga pukul 01.00. Pagi harinya ia isi dengan menyiapkan segala bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat kue putu.

Sepulang bekeja, Pak Wastur merendam beras untuk digiling pada pagi harinya. Setelah beras digiling, lalu adonan tersebut ditambah dengan daun pandan untuk memunculkan warna hijau pada kue. Untuk taburan kue, biasanya ia membutuhkan sedikitnya tiga buah kelapa. Kelapa tersebut dikukus kemudian ditambahkan garam.

Ayah dari empat anak itu tidak selalu berjualan kue putu, sesekali ia pulang ke kampung halamannya.

“Biasanya kalau lagi musim panen saya akan pulang terlebih dahulu. Jika panennya sudah selesai nanti balik lagi,”ujarnya dengan tangan sibuk memasukan adonan kue putu ke bambu.

Sama seperti penjual lainnya, Pak Wastur menjual kue putu seharga Rp1.000 per kue. Harga yang cukup murah untuk jajanan tradisional.

Meskipun berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya, Wastur pantang menyerah. Dengan mengenakan kemeja, celana bahan, topi, dan sandal jepit seadanya, ia tersenyum dengan tulus saat ditanya alasan mengapa memilih berjualan putu.

“Setidaknya saya berusaha dan ini usaha yang bisa saya lakukan untuk keluarga,”ujarnya. (Tri Ayu Lutfiani-Politeknik Negeri Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *