Antara Industri Tekstildan Lingkungan

Oleh: Nebula Widya Putri

Potongan harga memang menarik perhatian konsumen di manapun tempatnya. Dalam industri busana, potongan harga seakan menjadi “magnet” untuk memikat konsumen, termasuk dalam industri fast-fashion. Jika busana couture memperhatikan kualitas busana, fast-fashionmengutamakan kuantitasnya.

Dalam fast-fashion, busana dijual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan busana couture. Produksi fast-fashionyang bersifat massal menyebabkan limbah fast-fashion itu sendiri menjadi massal. Permasalahan limbah yang fast-fashionhasilkan menarik perhatian Elizabeth Cline untuk menulis buku Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion.

Menceritakan pengalaman pribadinya mengenai menumpuknya koleksi busana berkualitas rendah yang ia beli dengan harga murah, Cline juga mengutarakan kekhawatirannya akan dampak limbah industri fast-fashionterhadap lingkungan. Cline menyatakan bahwa tren busana dengan harga terjangkau seperti itu membahayakan lingkungan, ekonomi, hingga jiwa manusia. Ia juga khawatir akan tingkah laku konsumen bahkan produsen dalam membuang barang-barang murah berkualitas rendah seperti yang fast-fashionhasilkan tidak seiring dengan ketersediaan tempat pembuangannya.

Tidak hanya Cline, berbagai penelitian ilmiah untuk membahas isu terkait industri tekstil dan limbahnya juga dilakukan oleh berbagai pihak. Ellen Macarthur Foundation, sebuah organisasi yang fokus pada isu-isu ekonomi sirkuler merilis sebuah jurnal berjudul A New Textiles Economy: Redesigning fashion’s future.Dalam jurnal tersebut, ditegaskan bahwa limbah yang berasal dari industri ritel fast-fashiondisebabkan oleh tingkat pemanfaatan dan daur ulang yang rendah, sehingga berdampak negatif pada lingkungan.

Seorang perancang busana asal Jakarta, Nadya Rengganis, menjelaskan bahwa ada banyak hal yang dapat mengurangi limbah industri tekstil. Salah satunya adalah dengan memaksimalkan penggunaan bahan, seperti menyesuaikan bahan baku yang digunakan dalam pembuatan busana dengan kebutuhan sesuai pola rancangan baju. Hal tersebut dapat meminimalisir bahan yang terbuang dari pembuatan busana, bahkan dapat tidak tersisa, asal perancang busana tersebut mempertimbangkan pembuangan limbahnya.

Nadya sendiri merupakan pemilik Ayre Studio, sebuah merek busana kontemporer yang mengutamakan kenyamanan konsumennya dalam merancang busana. Lalu, penggunaan bahan juga ia perhatikan terutama dalam menghidupkan rancangan busana. Perlukah perancang busana turut serta mengikuti jejak Nadya dalam mengolah limbah mereka?(Nebula Widya Putri/Politeknik Negeri Jakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *