BANDUNG BBCom-Pelaksanaan Program Quick Wins (QW) Agroforestry atau Wanatani di kawasan DAS Citarum area Sub DAS Cirasea telah berhasil dilakukan di area lahan seluas 1470 Ha yang meliputi sebanyak 64 Kelompok untuk kawasan tersebut. Adapun kegiatan diantaranya Pembuatan Dam Pengendali (DPi) 1 unit, Pembuatan Dam Penahan (DPn) 50 unit, Pengendali Jurang (gully plug) 100 unit, dan Pembuatan Sumur Resapan Air (SRA) 525 unit yang tersebar di 5 Kecamatan diantaranya Kecamatan Pacet, Ibun, Paseh,dan Kertasari. Sementara Desa yang mendapatkan program tersebut dari 5 kecamatan sebanyak 30 desa.
Kelompok Giri Laya yang berlokasi di Desa Ciheulang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung tepat berada pada area tugas di Sub DAS Cirasea sudah menanami pohon kayu-kayuan serta tanaman komoditas. Penanaman dilakukan di Blok Palawija dengan area lahan seluas 25 ha. Adapun jenis pohon yang ditanam diantaranya eucalyptus, manggelina, serta pohon kopi. Sedangkan jenis pohon MPTS-nya antara lain pohon alpukat dan lainnya. Untuk pola tanam di kelompok tersebut adalah tanam pohon campuran. Hal ini disampaikan pendamping kelompok Sub DAS Cirasea, Aceng Anwar saat ditemui menyinggung kegiatan program agroforestry di wilayahnya belum lama ini. Dalam menjalankan program QW Agroforestry, sambungnya, dirinya mendampingi 4 Kelompok di area Sub DAS Cirasea salah satunya Kelompok Giri Laya.
“Pola tanam di wilayah kami rata-rata menggunakan pola campuran, sementara dalam pelaksanaan kami juga pokus mendampingi kelompok, sehingga dalam pelaksanaan sesuai dengan RUKK yang ada. Kami juga sebagai pendamping akan tetap mendampingi setelah panca panen untuk kerjasama dengan pihak pengusaha sehingga kelompok dan masyarakat yang dapat program itu diharapkan ke depan taraf ekonominya makin meningkat,” tutur Aceng.
Seperti yang dikutip Aceng Anwar, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melalui Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung dalam pelaksanaan program QW Agroforestry ini mencanangkan pemulihan ekosistem dengan menanami pepohonan serta tanaman yang tidak terlalu lama untuk siap panen. Adapun jenis tanamannya ini disesuaikan dengan karakter lahan serta tingkat kebutuhan masyarakat.
“Namun yang jelas, prinsif dasarnya bahwa kegiatan yang dilaksanakan kelompok bisa memberikan kontribusi bagi kelestarian, memperhatikan lingkungan sehingga bisa mewarisi lahan yang baik ke depannya,” ujarnya.
Lain halnya di Cimenteng Desa Jagabaya Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung, dikatakan Ketua Kelompok Tani Agroforestri Cimenteng, Ayi Hidayat tidak sedikit kendala yang dihadapi di lapangan dalam menjalankan program QW Agroforestry. Menurutnya, kendala tersebut karena masih banyaknya petani yang enggan menanami lahannya dengan tanaman keras, dengan alasan mengganggu pertumbuhan tanaman sayuran.
Namun demikian, diterangkan Ayi, pihaknya kerap melakukan sosialisasi kepada petani secara step by step dan perlahan agar mau bertanam pohon keras di lahannya, dengan memberikan pemahaman bahwa disamping pohon keras bisa pula dilakukan penanaman lainnya seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Sementara ini, pihaknya telah melaksanakan penanaman beberapa tanaman keras yang dibudidayakan diantaranya ecaliptus, gemali, albasia, dan kopi. Sedangkan pada tanaman komoditas atau tanaman semusim antara lain yanaman jagung, singkong, serta cabai.
Dari hasil pemantauan yang dilakukan tim di lapangan sejak Senin, (5/12/2017) bahwa program agroforestry yang sudah digulirkan berjalan baik. Dari pantauan tampak diantaranya perbaikan lingkungan dan bangunan dengan pembatasan pembangunan di daerah rawan longsor oleh masyarakat petani. Serta langkah antisipasi lainnya untuk pengurangan bencana banjir antara lain dengan peningkatan kawasan resapan air di hulu sungai dan perbaikan kualitas lahan kritis.
Begitu pula, penanaman pohon-pohon kayu atau tanaman keras yang diharapkan dapat sebagai penyeimbang ekosistem lahan hutan dalam garapan program tersebut hingga kini sudah dukup berhasil, terbukti dari berkembang suburnya tanaman tersebut. Disamping juga tanaman komoditas seperti sayur-sayuran serta buah-buahan dan peternakan yang menjadi garapan petani sebagai ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Seperti diketahui, program QW Agroforestry pelaksanaannya difokuskan di dua wilayah antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Bandung Barat (KBB). Khususnya di Kabupaten Bandung mulai dari Sub-DAS Cirasea, Sub-DAS Cisangkuy dan Sub-DAS Ciwidey, sedang KBB difokuskan di Sub-DAS Ciminyak dan Cihaur.
Program tersebut bertujuan untuk pemulihan DAS yang kritis, pulihnya fungsi daerah tangkapaan air dan meningkatnya pengelolaan hutan oleh masyarakat. Sementara program QW Agroforestry ditargetkan hingga 2019, untuk pemulihan tersebut di bagi 3 DAS diantaranya Das Citarum dengan luas lahan keritis 84.173.80 Ha, dam pengendali (DPi) 400 unit, dam penahan (DPn) 14.239 unit, Gully Plug (pengendali jurang) 21.189 unit, dan Sumur resapan air (SRA) 85.648 unit. Das Ciliwung Agroforestry 994.10; DPi (40 unit), DPn (258 unit), Gully Plug (150 unit) dan SRA (87662 unit). Das Cisadane Agroforestry 2.019 Ha, DPi (345 unit), Gully plug (13.732 unit) , DPn (560 unit) dan SRA (282.860 unit). Munculnya program QW Agroforestry ini berawal dari Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (RTkRHL) kemudian ditindaklanjuti dengan Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (RPRHL), lalu Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (RTnRHL).
Hal ini bermula dari kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc., bersama jajarannya ke Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung Kamis, (25/12/2014) silam. Situ Cisanti sendiri dinilai sebagai hulu DAS Sungai Citarum yang merupakan sungai strategis nasional yang harus mendapatkan penanganan cepat, tepat dan serius.
Maka muncullah program QW Agroforestry, dengan memperbaiki ekosistem hutan dan lingkungan yang rusak dengan percepatan rehabilitasi lahan dengan bangunan konservasi tanah dan air (KTA) dam pengendali (DPi), dam Penahan (DPn), sumur resapan air (SRA) serta gully plug (GP). Adapun tujuan dari pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini dilaksanakan dengan dua cara yaitu melaksanakan dengan Agroforestry di luar kawasan hutan (pegetatif) dan sipil teknis, yang pelaksanaanya sama-sama bisa di luar kawasan hutan tapi masih di lahan masyarakat berupa bangunan konservasi seperti beronjong.
Menurut Pelaksana Teknis Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) QW Sub DAS Cirasea, Wawan kegiatan QW Agroforestry di wilayahnya diharapkan dapat terkendalinya erosi dan luas lahan kritis selain juga bisa berkurang dan bisa meningkatkan pendapatan masyarakat.
“Karena dalam kegiatan ini ada upah sehingga bisa menambah ekonomi rakyat dan diharapkan efek dari program Agroforestry ini masyarakat yang punya lahan meningkat penghasilannya. Disamping juga selain dari pertanian, mereka akan mempunyai cadangan kayu,” jelasnya.
Namun yang lebih penting dari program QW Agroforestry ini, sambungnya adalah melibatkan kelompok-kelompok tani, dimana dalam pelaksanaannya dengan cara swakelola tipe 3 antara Balai Pengelolaan DAS dan kelompok tani.
Target QW Agroforestry di DAS Citarum dalam lima tahun ke depan diharapkan bisa merehabilitasi 84.173 hekatare lahan di Citarum, dengan memperbaiki 994 haktere lahan di Das Ciliwung dan Cisadane 2019.
Ia juga mengaku, dalam merehabilitasi lahan kritis pihaknya memiliki berbagai kendala. Salah satunya, masyarakat yang menggarap lahan kritis banyak yang tidak memperhatikan aspek konservasi. Sehingga, Ia akan mencoba untuk mengubah mindset penggarap lahan tersebut. Agar, program rehabilitasi lahan kritis agro forestry ini bisa dikembangkan di semua lahan yang ada di sana.
Program QW Agroforestry ternyata mendapatkan respon positif dari berbagai pihak, khususnya masyarakat di wilayah DAS. Mereka menjadi antusias untuk menjaga dan memelihara wilayah DAS. Bukan hanya itu saja, adanya program QW Agroforestry menjadikan perekonomian masyarakat saat ini mengalami titik terang, sebab program berbasis swakelola ini selain untuk memulihkan ekosistem lahan dan hutan juga memberikan dampak manfaat secara ekonomi dengan melakukan penanaman tanaman komoditas serta peternakan.
“Program semacam inilah yang ditunggu tunggu masyarakat. Sejauh ini, petani yang berada dekat hutan kerap menggantungkan hidupnya dari hasil pembalakan pohon hutan, sehingga lahan menjadi kritis dan erosi. Makanya ini adalah langkah inovatif yang menyeimbangkan penataan ekologi dan penataan ekonomi bagi petani,” terang Ketua FK-KTA Kab. Bandung Ahmad Sudirman atau yang akrab disapa Abah Alit belum lama ini.
Forum Koordinasi Kelompok Tani Agroforestry (FK-KTA) Kabupaten Bandung sendiri dibentuk guna mendukung terlaksananya program Agroforestry maupun konservasi tanah dan air (KTA) dalam rangka memulihkan DAS Citarum.
Menurut Abah Alit, demi kelancaran program Agroforestry hingga tahun 2019, maka atas nama Forum Koordinasi Kelompok Tani Agroforestri (FK-KTA) pihaknya siap mengawal dan membina pada kelompok. Diakuinya, program QW Agroforestry merupakan sebuah program yang berkelanjutkan, hingga diperlukan penyadaran dan pemahaman kepada para kelompok untuk terus bekerja dan membuktikan bahwa program agroforestry bisa terus berlanjut dan semakin berkembang.
Abah Alit juga menjelaskan, QW Agroforestry sangat erat hubungannya antara penataan ekologi dan penataan ekonomi juga sisi sosial.
Pada program Agroforestry, sudah tercakup semuanya; baik faktor ekologi, dengan diwajibkannya petani atau kelompok untuk menanam pohon, faktor ekonomi, diwajibkan melaksanakan tumpang sari, serta faktor sosial dimana petani diwajibkan berkelompok. Dirinya juga sangat bersukur adanya program yang diluncurkan BP DAS Citarum, karena program ini sangat memahami betul kultur petani yang tak mungkin lepas dari upaya kelangsungan hidup. Pasalnya dalam bantuan program tersebut digunakan untuk biaya pemeliharaan, biaya pasca panen, serta ada biaya-biaya lainnya. Dan hasil panennya justru para petanilah yang merasakan dan menikmatinya, dengan catatan tetap para tujuan awal yakni memperbaiki ekosistem alam yang rusak dengan melakukan pengendalian erosi lahan dan hutan yang berimbas pada terpeliharanya Sud DAS di wilayahnya.
FK-KTA memiliki visi serta misi yakni, Leweung Hejo Masyarakat Ngejo Jawa Barat jadi Hebat. (Hutan Hijau Masarakat bisa makan Jawa Barat jadi Hebat). Sedang kalimat HEBAT singkatan dari Hijau, Endah, Berbuah, Air, dan aman Tirta-nya. Ditambahkannya, program QW Agroforestri kali ini bersifat swakelola yakni dari petani, oleh petani dan untuk petani. Program tersebut, diakuinya berbeda dengan program-program sejenis sebelumnya yang bersifat top down untuk kali ini sifatnya dari bawah, yakni petani yang mengajukan Rencana Usulan Kerja Kelompok (RUKK) ke pemerintah melalui BPDAS Citarum-Ciliwung.
Seperti yang pernah diungkapkan Direktur Konservasi Tanah dan Air (KTA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KTA), Dr. Muhamad Firman bahwa Agroforesteri adalah tanaman kombinasi antara tanaman Kehutanan dan tanaman pertanian, ciri hasnya tataman kehutanan umurnya lebih dari 5 hingga 6 tahun, tetapi kalau tanaman pertanian 2 hingga 3 bulan sudah bisa dilakukan panen.
“Jika masyarakat menanam tanaman keras dan kayu-kayuan ’kasihan’, karena mereka harus menunggu panennya 5 hingga 6 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan jangka pendeknya, maka kita kombinasikan agroforestri,“ jelasnya.
Diungkapkannya, bahwa kegiatan agroforestri sudah sejak dulu dilakukan, secara tidak sadar di pekarangan-pekarangan rumah ada tanaman seperti kelapa, kayu-kayuan dan di dalamnya ada ternak sapi dan kambing itu dilakukan seperti agroforestry.
“Diharapkan dengan adanya program agroforestri ini bermanfaat bagi masyarakat, sehingga perkembangan ekonomi masyarakat bisa cepat meningkat,” tuturnya.
Adapun menurut Kepala Dinas Pertanian Hutan dan Kebun Kab. Bandung Ir. H. Entis Sutisna pada pelaksanaannya pihaknya hanya membantu dan memfasilitasi, sedangkan pelaksanaan di lapangan melalui koordinator penyuluh kehutanan dibantu tim tingkat dari desa dan tim tingkat kecamatan.
“Adanya program agroforestry, bagi Pemkab Bandung sangat terbantu, guna mempercepat penanganan lahan kritis di hulu Citarum. Melalui program yang tersebar di beberapa area Sub DAS ini juga diharapkan berdampak pada bagaimana penanganan lahan kritis di Kab. Bandung,” pungkasnya. (Red/Adv)