oleh Masquita Pragistari

Makanan Pedas selalu menjadi menu wajib dalam hampir seluruh restaurant di Indonesia, perut panas bahkan bibir terasa terbakar seakan terkalahkan oleh rasa nagih dan menjadi candu tersendiri ketika makan makanan pedas.
Makanan seperti masakan Padang terasa tidak lengkap tanpa sambel cabai hijau, hidangan Ayam Woku makanan khas Manado mempunya ciri khas pedas yang gurih, atau sambal terasi di Jawa yang memiliki cita rasa berbeda setiap daerahnya. Tak pelak rasa pedas yang menggugah selera penikmatnya ini menjadi siasat penjual menarik para pembeli.
Para penikmat pedas ini memiliki alasan tersendiri memilih makanan pedas sebagai menu wajibnya, “makan tanpa sensasi pedas itu kayak ada yang kurang, soalnya hampir setiap hari menu sambal tuh selalu ada di rumah, kalau ada restaurant yang terkenal enak pedasnya, biarpun jauh pasti saya datangi hahaha,” ujar Ayu, salah satu penikmat makanan pedas.
Seperti yang dialami oleh Waluyo, seorang pedagang jajanan pedas seblak khas bandung, ia memberikan inovasi pada warung seblaknya yang berada di Jl. Inpress Raya No.8 Larangan Utara, Tangerang ini menjadi memiliki level pedas yang dapat dipilih oleh pembelinya, mulai dari level 1 hingga level 15, harganya bervariasi dan toppingnya pun sesuai selera pembeli.
“Usaha seblak ini dari 2015 belum mati, puncaknya tahun 2017 itu hampir setiap hari pedagang selalu ramai membeli, ratusan porsi bisa kejual lah. Pedasnya sih sesuai selera mereka ya tapi kalau yang beli seblak nggak pedas sih jarang,” ujar Waluyo.
Namun, tahukah Anda apa dampak terlalu banyak mengkonsumsi makanan pedas? baikkah? atau buruk?
Kendra Pierre-Louis, penulis sains di Aeon menulis bahwa makanan pedas juga merupakan bentuk ekspresi kebudayaan, dalam hal ini macoisme. Seseorang kerap diasosiasikan hebat, keren, dan kuat ketika ia mampu menahan rasa pedas. Sebab itu banyak orang berlomba untuk menguji seberapa hebat mereka dalam melawan rasa pedas.
Tantangan untuk makan makanan pedas terdapat di banyak negara dan peradaban. Di Indonesia sendiri ada berbagai macam makanan seperti mie instan, keripik, atau bubuk cabe yang memiliki level kepedasan tersendiri.
Seperti sebuah esai yang ditulis John McQuaid di Wall Street Journal, bahwa rasa pedas melahirkan perasaan menderita dan bahagia. Benarkah hal tersebut?
Rasa pedas yang menjadi candu menurut penikmatnya ini banyak di asumsikan hanya sebagai rasa panas yang menempel di lidah, padahal sesungguhnya tidak. Rasa pedas ini lahir dari iritasi dan rasa sakit. Ilmuwan yang tergabung dalam American Chemical Society menyebutkan bahwa dalam lidah kita ada rantai kimia yang disebut reseptor TRPV1 yang mendeteksi rasa pedas. Rasa pedas itu berasal dari capsaicin: senyawa tak berwarna, tak berbau, yang ada di kulit cabai. Saat lidah kita menyentuh senyawa itu, tubuh kita mengirim sinyal pada otak mengatakan bahwa ada bahaya dalam bentuk rasa pedas.
Menurut ahli gizi Wendy Bazilian, DrPH, seperti dikutip di laman Health.com, anggapan bahwa cabai dapat menimbulkan kerusakan pada lidah dan/atau kerongkongan adalah mitos belaka. Meski demikian, bukan berarti makanan pedas tidak memiliki dampak buruk. Faktanya, ketika makan makanan super pedas, otak menerima sinyal “rasa sakit” yang dapat mengakibatkan sakit perut, mual, atau muntah. Perut bereaksi seolah-olah Anda makan zat beracun, sehingga perut bekerja untuk mengeluarkan “racun”makanan tersebut.
Tidak hanya mereka yang beranggapan bahwa pedas merupakan menu wajib Beberapa diantarannya menganggap makanan pedas sekadar makanan saja, bukan sebagai suatu tantangan.