Antara Kau, Dia, dan Lensa

Jika kau melihat lebih dekat, menyipitkan matamu, berkonsentrasi, kau akan menemukannya. Tersembunyi di sesuatu tempat yang tak menarik perhatian, berusaha menghindari publik akan kehadirannya yang memang selalu ada di mana-mana. Dia hanya satu; kesatuan antara benda dan pemiliknya. Dia tidak berbahaya, jelas. Tak ada yang mengetahuinya, tak ada yang mendengarnya, tak ada yang mengenalnya, karena tak ada yang mau mendekatinya. Tak Terlihat, julukan akrabnya. Namun tentu tak ada yang menjulukinya, karena, seperti namanya, dia tak terlihat. Padahal dia hanya pemerhati teliti dengan dua lensa di tangannya dan dua lensa birunya.

Dia mungkin yang dinamakan stalker yang menyebalkan; selaluada di sana-sini tanpa pemberitahuan. Tapi tidak, dia hanyalah pemerhati yang sungguh teliti dengan keempat lensanya. Dia tidak pernah mengganggu, tidak pernah menampakkan diri, karena dia si Tak Terlihat. Dia tidak pernah membuntuti dengan mencurigakan karena dia si Tanpa Jejak. Dia tidak pernah mengekor di belakang dengan kekehan tawa menyebalkan karena dia si Pemerhati Teliti.

Kau mungkin belum pernah mendengarnya sama sekalitidakpernah ada yang dengar. Namun si Pemerhati Teliti selalu berada di sekelilingmu; berburu gambarmu, informasimu, apapun yang berhubungan denganmu. Dia tahu di manarumahmu, apa warna catnya, berapa jumlah jendelanya, bagaimana posisi kotak suratnya, apa yang ada di pekarangannya. Dia tahu kau selalu memakai jaket warna apasetiap hari Rabu, mengganti tas gendongmu dengan tas apa danwarna apa setiap latihan baseball, jam tanganmu berbunyi setiap berapa jam sekali. Bahkan dia tahu tali sepatumu sobek karena apa.

Dia memakumu dengan keempat lensa yang dimilikinya. Lihat lebih dekat, maka kau akan menemukan bayangannya. Sipitkan matamu, maka sosoknya akan kau tangkap. Sulit, karena dia begitu pintar bersembunyi. Bermain kucing-kucingan dengan objek perhatiannya sejak awal tahun pelajaran. Awalnya dia hanya remaja 13 tahun biasa yang gemar internet, baca bukuhang out, pesta, nonton bioskop. Tapi semenjak lensa birunya menangkapmu, dia mulai menekuni cukup satu hobi: menjadi pemerhati telitimu.

Semua tentangmu yang ditangkap keempat lensanya membuatnya rajin sekolah. Berhenti beralasan sakit hanya karena tidak ada seorangpun yang mau jadi temannya. Kau tanpa sadar telah membuatnya lebih bersemangat, seolah kau adalah teman bermain barunya yang tak nyata. Teman khayalan. Jika kau harus membayar apa yang telah dilakukannyasemuanya, mungkin kau akan menjadi gelandangan setelahnya. Dia akan kaya raya jika kau adalah aktor jebolan Hollywood yang sedang naik daun. Hanya dengan menjual cukup fotomu saja dia mungkin bisa mendapat mobil Lamborghini. Tapi tidak, dia tidak mungkin seperti itu. Lagi pula kau juga bukan aktor Hollywood—kau hanyalah seorang anak laki-laki yang tidak terlalu populer yang gemar main baseball.

Jika kau cukup teliti, maka kau akan menangkap sosoknya di balik pepohonan. Merekammu dengan ketiga lensanya denganseksama. Namun sayang, kau tak memerhatikan.

Penulis : Fransiska Nathasia, mahasiswi dari Politeknik Negeri Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *