Tri Ayu Lutfiani/Politeknik Negeri Jakarta
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya, Indonesia layak disebut bangsa yang berbudaya.” – Salah satu kutipan Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan.

Menjadi salah satu kebudayaan Indonesia yang ditetapkan sebagai Indonesian Curtular Herittage atau warisan budaya tak benda oleh United Nations Educational, Scientific, and Curtular Organisation (UNESCO), batik kini semakin populer dan mengalami berbagai inovasi.
Jika dulu batik hanya digunakan untuk kondangan atau daster (gaun longgar untuk di rumah), saat ini batik bisa ditemukan dalam busana modern karya desainer-desainer terkenal. Bahkan beberapa jenis motif batik sudah terkenal di mancanegara, seperti Mega Mendung, Sogan, dan Sekar Jagad.
Berasal dari bahasa Jawa “amba” berarti tulis dan “tik” yang berarti titik, batik memiliki arti menulis titik. Sedangkan dalam jurnal Batik Sebagai Identitas Kultural Bangsa Indonesia di Era Globalisasi karya Iskandar dan Eny Kustiyah, menyebutkan menurut Sularso dkk., batik merajuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam (wax) yang diaplikasikan ke atas kain sehingga menahan masuknya pewarna (dye).
Batik merupakan identitas bangsa Indonesia yang sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan, khususnya oleh generasi muda. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk melestarikan batik, contohnya dengan mengenakan batik, belajar membatik, atau menyelenggarakan acara pegelaran kesenian batik.
“Cara sederhana yang bisa dilakukan oleh anak muda untuk mencintai batik yaitu dengan mengetahui perbedaan batik tulis, cap, dan print,” ujar Lilis, salah satu staf Museum Tekstil, Jakarta Barat, saat ditemui dalam acara Destinasi Indonesia Expo 2019 di Balai Sidang Jakarta Convention Center.
Selain itu, menurut Lilis, edukasi mengenai cara pembuatan batik di sekolah pun bisa menjadi salah satu langkah untuk ikut serta dalam melestarikan budaya batik. Setidaknya siswa-siswa nantinya akan lebih menghargai proses pembuatan batik dan bisa pula mengubah pola pikir bahwa batik itu hanya untuk kalangan orang tua.

Dalam stan Museum Tekstil, terlihat lima anak SD asyik mengoreskan canting ke atas selembar kain putih. Saking antusiasnya, mereka bahkan saling berebut mencelupkan canting ke dalam malam.
“Aku mau belajar batik, aku mau belajar batik” ucap salah seorang anak lelaki sambil tangannya mengoreskan canting secara perlahan. Ada pula yang hanya duduk memperhatikan kawannya. Saat ditanya mengapa tidak ikutan mencoba, ia hanya tersipu malu lantas pindah tempat duduk.
Pengunjung yang datang ke stan tersebut bisa dengan bebas belajar membuat batik. Untuk anak-anak disediakan motif-motif sederhana seperti bunga dan burung dalam selembar kain yang ukurannya tidak terlalu besar. Ada pula motif batik dalam kain besar yang bisa dicoba oleh orang dewasa.
Membuat batik sendiri menurut Lilis bisa dijadikan sebagai media meditasi (tenang), meredakan emosi, melatih kesabaran, dan belajar untuk fokus.
“Membatik itu dengan hati, kalau perasaan sedang tidak mood, lebih baik ditunda dulu kegiatan membatiknya, jika dilanjutkan hasilnya tidak akan baik,”ujar Lilis.
Mari lestarikan batik Indonesia: batikku, batikmu, batik kita semua!