Ketua Repdem Kota Cirebon Soroti Pengelolaan Insentif Pajak Daerah , Pertanyakan Dasar Hukum SK Wali

KOTA CIREBON | BBCOM – Polemik terkait pemberian insentif atau upah pungut bagi pengelola pajak dan retribusi daerah di Kota Cirebon kembali menjadi sorotan publik. Ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Kota Cirebon, Shandi Nialam, menilai perlu adanya transparansi dan kepastian hukum terkait dasar pengaturan serta pemberian insentif tersebut, terutama setelah adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan kelebihan pembayaran insentif di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon.

Menurut Shandi, pemerintah daerah memang memiliki dasar hukum dalam memberikan insentif kepada aparatur yang berperan aktif dalam pemungutan pajak dan retribusi daerah. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam Pasal 2 PP tersebut dijelaskan bahwa insentif dapat diberikan kepada pejabat atau pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, sebagai bentuk penghargaan atas kinerja dan peningkatan pendapatan daerah. Namun, Shandi menegaskan, pemberian insentif itu harus berdasarkan mekanisme dan proporsi yang diatur dengan jelas.

“Pemberian insentif atau upah pungut ini memang diatur dalam PP 69 Tahun 2010. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah pelaksanaannya di Kota Cirebon sudah sepenuhnya mengacu pada ketentuan tersebut? Karena kalau benar sudah sesuai, kenapa masih ada temuan dari BPK tentang kelebihan pembayaran?” ujar Shandi Nialam, Senin (3/11/25).

Ia juga mempertanyakan dasar hukum pembentukan Surat Keputusan (SK) Wali Kota yang mengatur tentang pengelolaan serta pembagian insentif atau upah pungut bagi ASN yang mengelola pajak dan retribusi daerah.

Menurut Shandi, penting untuk diketahui siapa pihak yang menyusun draf SK tersebut, apakah berasal dari Badan Keuangan Daerah (BKD), Sekretariat Daerah (Setda), atau langsung dari Wali Kota, agar publik memahami proses dan akuntabilitasnya.

“SK Wali Kota itu menjadi dasar penyaluran insentif. Tapi publik berhak tahu apakah penyusunannya melalui kajian dari BKD, arahan Sekda, atau inisiatif langsung Wali Kota. Sebab, hal ini berkaitan dengan tata kelola keuangan daerah dan bisa berimplikasi pada temuan audit,” tambah Shandi.

Dalam PP 69/2010, dijelaskan pula bahwa besaran insentif ditetapkan paling tinggi sebesar 5 persen dari realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, dengan pembagian yang diatur melalui peraturan kepala daerah.

Tujuannya agar pelaksanaannya tidak menimbulkan potensi penyimpangan atau kelebihan bayar.

Shandi menegaskan, jika dalam pelaksanaan terdapat kelebihan insentif seperti yang ditemukan BPK, maka hal itu harus segera ditindaklanjuti secara transparan dan sesuai prosedur.

“Kalau memang ada kelebihan pembayaran, artinya ada kesalahan dalam penetapan dasar hukum atau penghitungan. Pemkot harus terbuka menjelaskan kepada publik, supaya tidak ada dugaan penyalahgunaan atau ketidaksesuaian aturan,” ungkapnya.

Ia juga mendorong agar ke depan Pemkot Cirebon melakukan review terhadap seluruh kebijakan terkait pengelolaan pajak dan retribusi, termasuk sistem pemberian insentif.

Tujuannya agar pengelolaan keuangan daerah berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perdangan dan Perindustrian (DKUKMPP), Iing Daiman mengkaui adanya kekeliruan dalam pemberian insentif Upah Pungut tersebut.

“Ya kami akui itu ada kesalahan. Maka segera kami perbaiki itu,” ujar Iing.

Dirinya juga mengaku bahwa kelebihan pemberian insentif sudah dikembalikan kepada kas negara lewat BPKPD.

“Itu sudah kita kembalikan, jumlahnya sih tidak banyak. Tapi sudah semua kita kembalikan,” ungkapnya.(Bud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *