Oleh : Teddy Guswana (Redaksi Bandung Berita)
Tidak bisa dipungkiri, pemda Kabupaten Bandung Barat (KBB) saat ini tengah dihadapkan kepada persoalan dan beban keuangan cukup berat. Isu defisit yang dalam dua tahun terakhir (2022 dan 2023) terus mencuat ke permukaan, dan kewajiban pembayaran kepada pihak ketiga yang hingga kini belum terselesaikan menjadi kondisi yang menuntut kinerja keuangan cukup berat di tahun ini. Kondisi ini diprediksi akan terus menjadi beban di tahun tahun mendatang jika persoalan keuangan tidak terselesaikan di tahun ini.
Mau tidak mau, suka tidak suka, kondisi defisit dan desakan pembayaran dari pihak ketiga yang terus muncul tentu menjadikan pemda KBB berfikir ketat mencari peluangkeuangan agar bisa mengatasinya dalam waktu yang tidak berlarut larut. Berat memang. Tapi itulah kondisi yang tidak bisa dihindarkan dan menuntut penyelesaian dengan segera.
Meski pihak Pemda KBB sudah memiliki ancang ancang waktu untuk segera menyelesaikan tunda bayar, namun hal ini tampaknya tidak cukup untuk meredakan pihak ketiga/rekanan agar tidak mendesak pembayaran yang tertunda. Hal ini bisa dimaklumi karena pihak ketiga/rekanan yang sudah menyelesaikan pekerjaannya tahun lalu (2023) bukan tidak mungkin ada yang menggunakan dana perbankan sebagai modal kerja. Yang namanya menggunakan dana perbankan, maka resiko keuangan pihak ketiga menjadi lebih berat karena ada beban bunga berjalan yang harus ditanggung dan kemungkinan tipis bisa direschedul.
Apa yang dialami Pemda KBB mengenai tunda bayar kepada pihak ketiga ternyata bukan satu satunya pemda yang pernah menghadapi hal serupa. Hal ini pernah terjadi pula diPemda Bengkalis tahun 2017 yang mengalami tunda bayarkepada pihak ketiga. Bahkan dari aspek jumlah tunda bayar yang dialami oleh Pemda Bengkalis jauh lebih besar mencapai Rp. 392 milyar lebih. Dua kali lipat lebih dari yang dialami sekarang oleh Pemda KBB. Tapi pada tahun berikutnya (2018) Pemda Bengkalis secara bertahap mampu mengatasinya.
Mencontohkan fakta dengan Pemda Bengkalis bukanlahuntuk memperbandingkan. Namun tidak ada salahnya dijadikan referensi. Paling tidak bisa dijadikan acuan bagaimana penyelesaian tunda bayar itu bisa diatasi karena persoalannya memang mirip. Dalam hal ini, apakah Pemda KBB bisa mengambil keputusan seperti Pemda Bengkalis yang pernah mengalami tunda bayar kepada pihak ketiga di tahun 2017 dan mampu melaksanakan pembayaran pada tahun berikutnya (2018) meski dilakukan secara bertahap?.
Meski apa yang dilakukan pemda Bengkalis saat itu mengudang pertanyaan apakah melanggar aturan atau tidak. Namun karena tindakan bayar pada tahun berikutnya sudah terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pihak Pemprop Riau, BKAD, BPK dan BPKP perwakilan daerah, dan juga DPRD, maka tindakan itu dianggap tidak melanggar regulasi.
Bagi Pemda KBB yang kini dinakhodari oleh Arsan Latif selaku PJ Bupati yang diyakini faham betul tentang regulasi anggaran, maka diharapkan akan bisa diambil tindakan dengan segera untuk menyelesaikan tunda bayar kepada pihak ketiga. Bagaimanapun, penyelesaian tunda bayar tahun 2023 adalah hal mendesak yang menuntut penyelesaian segera. Jika hal ini bisa dilakukan maka dampaknya tentu akan meringankan beban keuangan bagi pemda KBB di tahun ini dan di tahun tahun mendatang.
Upaya Mendongkrak PAD
Kondisi defisit anggaran dan terjadinya tunda bayar kepada pihak ketiga bagaimanapun tidaklah bisa dilepaskan dari kondisi perencanaan anggaran yang mungkin kurangmemperhitungkan antara potensi yang ada dengan kematangan rencana penerimaan yang bisa dicapai. Memang, sumber sumber anggaran pemda ada yang namanya Dana Perimbangan, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun semua itu sudah jelas alokasinya. Karenanya, Jika penggunaannya keluar dari peruntukkan maka harus ditempuh prosedur yang tidak sederhana dan harus mengacu kepada regulasi yang ada.
Untuk itu, maka ke depan sudah pasti diperlukan strategi dari Pemda KBB untuk menggali potensi yang bisa dijadikan sumber penerimaan daerah ke arah yang lebih meningkat. Dalam hal ini maka intensifikasi dan ektensifikasi sumber sumber pendapatan yang memungkinkan bisa dioptimalkan perlu segera dilakukan.
Dalam kaitan itulah maka PJ Bupati Bandung Barat Arsan Latif saat ini berusaha keras meningkatkan PAD agar di tahun ini bisa mencapai Rp. 1 Trilyun. Untuk hal ini ada yang berpendapat bahwa apa yang ditargetkan oleh Arsan Latif merupakan hal yang rasional. Namun ada pula yang pesimistis dan menganggap target itu tidak rasional.
Terlepas dari adanya sikap dan perbedaan pandangan itu, tulisan ini tidaklah akan masuk pada ranah pro dan kontra, tapi hanya akan menelaah seputar apa yang akan menjadi faktor pendukung dan faktor apa yang akan menjadi kendala dalam rangka upaya peningkatan PAD. Dengan demikian, maka usaha untuk meningkatkan PAD tidak mengabaikan kendala yang mungkin timbul.
Jika menengok perolehan PAD tahun ini yang mencapai Rp. 500 milyar lebih, kondisinya memang menggembirakan karena berhasil mencapai target. Namun ternyata hal ini tidak menjadikan Pj. Bupati merasa bangga. Arsan justru mentargetkan PAD Tahun ini bisa mencapai Rp. 1 Trilyun.
Sikap Arsan Latif yang tidak merasa bangga dengan capaian PAD di tahun 2023 tidaklah perlu dianggap sebagai sikap yang tidak apresiatif. Dalam hal ini kemungkinan adanya aspek psikologis yang cukup berat bagi seorang pimpinan daerah menghadapi kondisi pemerintahan yang dipimpinnya terlilit persoalan keuangan. aspek psikologisinilah yang kemudian termanifestasikan kedalam sikap yang terkonsentrasi terhadap penyelesaian masalah keuangan agar bisa segera pulih daripada mengedepankan kebanggaan terlebih dahulu tetapi kondisi keuangan belum bisa dibereskan. Kondisi psikologis inilah yang kemudian memunculkan rasa tanggung jawab moral bagi seorang pemimpin daerah untuk menata kelola (terutama keuangan) ke arah yang lebih baik. Dalam kondisi seperti ini maka aparaturdibawahnya patut memberikan dorongan untuk secara bersama sama bergerak secara terorganisir dan terencana untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi.
Kembali kepada soal upaya meningkatkan PAD KBB tahun ini (2024) yang dikatakan Arsan Latif harus bisa mencapai Rp. 1 Trilyun, dengan cara apapun (tentu sesuai regulasi) sasaran ini seyogyanya diusahakan untuk bisa terealisasi. Meskipun merealisasikan sasaran itu bukan perkara ringan, namun jika faktor faktor pendukung untuk meningkatkan PAD benar benar bisa dioptimalkan dan faktof faktor yang menjadi kendala bisa diminimalisir, maka sasaran peningkatan PAD akan memberi harapan untuk menopang keuangan pemda KBB yang saat ini boleh dikatakan morat marit.
Dari beberapa referensi tentang upaya peningkatan PAD, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan seperti peguatan kepekaan daerah didalam menemukan potensi asli daerah. Artinya aparatur daerah dituntut untuk peka melihat sumber sumber apa saja yang bisa dijadikan pendapatan daerah, selain yang tengah dijalankan. Artinya, masih ada sektor sektor yang bisa dijadikan sumber penerimaan. Sektor sektor inilah yang harus digali, dan hanya akan bisa dilakukan jika aparatur daerah peka melihat peluang ini.
Kemudian ditempuh pula penguatan sistem hukum dan administrasi pendapatan daerah agar upaya menggali dan menerapkan pungutan terhadap sektor sektor yang menjadi sumber PAD berada pada koridor regulasi. Sistem hukum ini juga diperlukan agar pemaanfaatan dan penggunaan pendapatan tidak mengalami kebocoran yang sering menjadiisu mengemuka yang digadang gadang menjadi penyebabpendapatan daerah menjadi tidak optimal karena ada kebocoran.
Selain itu, diperlukan juga penguatan profesionalitas aparatur didalam mengelola/manajemen pendapatan dan keuangan daerah sehingga pendapatan dan keuangan daerah terkelola dengan baik.
Namun patut diakui, upaya peningkatan PAD akan juga berkaitan dengan tingkat toleransi masyarakat yang menjadi obyek pajak dan obyek retribusi. Artinya, meskipun penetapan besaran pajak dan pungutan retribusi menjadi wewenang pemerintah, tetap saja masyarakat memiliki tingkat toleransi. Tingkat Toleransi ini adalah tingkat pemahaman masyarakat terhadap besaran pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah. Jika besaran pajak dan retribusi ternyata diluar tingkat toleransi masyarakat alias dianggap terlalu besar, maka akibatnya masyarakat enggan untuk membayar pajak dan/atau retribusi. Kalau hal ini terjadi maka justru akan menjadi kendala bagi pemerintah daerah untuk bisa meningkatkan PAD.
Karenanya, upaya Pemda KBB untuk meningkatkan PAD tahun 2024 ini yang mau tidak mau akan terkait pada penetapan besaran pajak dan peningkatan retribusi untuk sektor sektor tertentu yang dianggap potensial, maka sangat diperlukan adanya sosialisasi agar dipahami oleh masyarakat.
Saat ini, memang telah terbit Perda No. 1 Tahun 2024 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Untuk hal ini, salah satu SKPD KBB yaiu Dinas Kesehatan telah memberlakukan Perda tersebut yang didahului oleh sosialisasi beberapa waktu lalu terutama yang berkaitan dengan kenaikan retribusi pelayanan kesehatan di Puskemas. Langkah sosialisasi dan pemberlakuan Perda itu tentu perlu diikuti oleh SKPD lainnya agar sasaran peningkatan PAD di tahun ini bisa terealisasi.
Tampaknya, Pemda KBB saat ini memang tidak bisa menghindar dari kenyataan sulitnya keuangan yang tengah dihadapi. Karenanya upaya meningkatkan PAD menjadi satu satunya jalan yang bisa ditempuh. Dalam hal ini, PAD memang merupakan kontribusi didalam menopang APBD agar bisa mendukung keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan serta palayanan kepada masyarakat. Namun tentu saja strategi untuk meningkatkan PAD harus mempertimbangkan tingkat toleransi masyarakat agar tidak justru timbul keengganan masyarakat untuk membayar pajak dan rertibusi. ***