Pelayanan Publik Kab OKI Dinilai “Gagal”

ktpKAYUAGUNG BB.Com— Masyarakat sering kali berhadapan dengan pelayanan publik dimana kebutuhan mereka harusnya dilayani dengan baik, namun kadang pelayanan tersebut bikin kecewa. Pelayanan publik sering kali hanya menjadi sebuah rutinitas kerja para pegawai yang seharusnya melayani dengan baik demi kepentingan semua unsur, golongan maupun komunitas masyarakat.

Sebagai contoh pelayanan Catatan Sipil di Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab-OKI) Sumatera Selatan (Sumsel), betapa buruknya sebuah kinerja layanan yang jauh dari harapan masyarakat. Karena mereka memandang sebuah jabatan ataupun bagian kerja adalah sebuah rutinitas, melayani kebutuhan masyarakat tanpa adanya profesionalisme ataupun service yang baik, bahkan jauh dari harapan masyarakat sebagai customer mereka.

Tata cara kerja yang seolah-olah tidak adanya target dan administrative yang tidak baik menjadikan semua permasalahan harus ditanggung oleh masyarakat yang mau tidak mau harus menyerah kepada mereka. Kita dapat melihat betapa santainya pegawai catatan sipil dalam pelayanan pembuatan KTP.

Buruknya pelayanan Capil OKI sempat dirasakan oleh Tasili, pasalnya KTP yang telah dikeluarkan oleh Capil Kab OKI atas nama Tasili salah alamat, padahal syarat utama untuk mendapatkan KTP harus melampirkan Kartu Keluarga (KK). Anehnya setelah KTP selesai dibikin Alamat KK dan KTP berbedah tidak sesuai dengan keberadaan KK yang dimiliki Tasili.

Dia merasa kecewa, disaat hendak mengurus sebuah KTP harus bersusah payah untuk mendapatkannya. Berbagai alasan terlontar disaat akan mendapatkannya, mulai dari antrian, blanko yang kosong, bahkan dirinya sudah meluangkan waktu dan memenuhi segala persyaratan. Namun yang terjadi adalah kekecewaan yang seolah-olah harus ditanggung sebagai harga mahal membuat KTP.

Sungguh ironis disaat harus mendapatkan hak sebagai warga negara namun tidak ada pelayanan yang baik bagi masyarakat, padahal mereka sudah memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Mulai dari membayar pajak, mentaati peraturan pemerintah hingga berbelanja apapun sudah dikenakan pungutan atau pajak. Dari sini jelas tidak adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. (red)


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *