Sejak awal berdiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU) dalam menggariskan organisasi (jam’iyah) memupuk dan meningkatkan kegiatan keagamaan serta sosial selalu di bawah bimbingan para kiai. Organisasi NU memiliki potret yang khas sejak didirikannya, kharisma kiai yang dipandang sebagai warasatul ambiya (pewaris para nabi) memegang otoritas penuh dalam Jam’iyah NU, terutama karena memiliki kekutan intelektual dan spritual yang dimiliki seorang kiai.
Para kiai sebagai pimpinan spiritual tidak terbatas di lingkungan pesantren. Akan tetapi ia pun melayani mesyarakat di lingkungan sekitar maupun lingkungan lebih luas, dalam istilah sekarang disebut ri’ayatul ummah. Berkah spiritual yang dimiliki oleh kiai di mata umat Islam dan terutama di lingkungan jam’iyah NU sangat melimpah. Hal itu bisa terlihat dari berbagai kegiatan yang diikuti ratusan dan ribuan jama’ah yang menghadiri majelisnya untuk mendapat limpahan berkah dari seorang kiai merupakan tradisi yang biasa dilakukan pada jam’iyah NU. Tak hanya itu para kiai sering didatangi orang untuk diminta saran dan nasihat serta fatwa untuk berbagai hal yang menyangkut kehidupan pribadi maupun umum.
Meski demikian para kiai berposisi independen dari kekuasaan dunia (sekuler) dan berdiri di atas keagamaan dan sumber ekonomi sendiri. Akan tetapi mereka para elit atau penguasa sekuler yang tak memiliki kemampuan dalam hal keagamaan yang cakap untuk meminta persetujuan dan dukungan pada para kiai untuk legitimisi kekuasaan dalam tatanan sosial, dalam lingkungan NU hal tersebut biasa dilakukan. Oleh sebab itu organisasi NU tidak bisa terlepas dari sosok seoarang kiai.
Pada jam’iyah NU majelis tertinggi adalah Syuriah dalam berbagai tingkatannya. Pada Pasal 14 butir 3 AD-ART NU, Syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdhatul Ulama. Ia memegang otoritas tertinggi di tubuh organisasi NU, sedangkan jajaran Tanfidziyah biasanya sebagai pelaksana dari kebijakan-kebijakan majelis tinggi teresbut. Pada Pasal 18 AD-ART NU, Syuriyah bertugas dan berwenang membina dan mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan perkumpulan sesuai tingkatannya. Sedangkan Tanfidziyah di Pasal 20 AD-ART NU mempunyai tugas dan wewenang menjalankan pelaksanaan keputusan-keputusan perkumpulan sesuai tingkatnya. Oleh sebab itu para kiai yang beraada pada jajaran Syuriyah – Tanfidziyah memilki keputusan dan langkah strategis dalam organisasi para kiai tersebut.
Oleh sebab itu patron kepada para kiai menjadi penting dalam perkumpulan Nahdlatul Ulama, sebagai mana nama nya “ Kebangkitan Para Ulama.” Para kiai berperan penting dan strategis dalam kebijakan perkumpulan NU. Hal ini menjadi titik krusial ketika para kiai tidak terlibat penuh dalam kebijakan dan keputusan perkumpulan, jika tidak melibatkan mereka biasanya gerakan akan mengalami kesulitan untuk maju, mandek, atau selalu jalan di tempat, pada titik terendah gerakannya mati suri.
Menyambut Konfercab NU Kota Bandung ke 19
Beberapa lama lagi perkumpulan Nahdlatul Ulama atau tepatnya Pengurus Cabang NU Kota Bandung akan menyelenggarakan konferensi cabang (Konfercab) NU di tingkat Kota ke-19. Konfercab merupakan acara cukup penting dan strategis dalam perkumpulan NU sebagai forum tertinggi dalam melaksanakan suksesi kepemimpinan (Syuriyah-Tanfidziyah) di tingkat Kota/Kabupaten.
Konfercab tentu menjadi keniscayaan setiap lima tahun sebagai perhelatan akbar Jam’iyah NU, dan tentu hendak disambut dengan riang gembira oleh warga Nahdliyin di Kota Bandung, karena selain suksesi kepemimpinan, akan adanya putusan-putusan penting dan strategis bagi keberlangsungan NU Kota Bandung mendatang.
Eksistensi Jam’iyah Nahdlatul Ulama sudah cukup lama keberadaannya di Kota besar ini, bahkan sejak zaman kolonial dan penjajah Belanda hingga runtuhnya pemerintahan orde lama perkumpulan NU di Kota Bandung menjadi kekuatan yang cukup besar dan penting di Republik ini.
Namun sejak berakhirnya rezim orde baru, keberadaan perkumpulan NU di Kota Bandung hingga orde reformasi dan pasca reformasi, gemanya tidak memekik baik pada lingkup bawah maupun atas, di banding dengan ormas-ormas Islam lain sangat aktif dan progresif. Meski demikian keberadan NU secara tradisi, jama’ah NU masih bisa dibilang kuat, karena itu merupakan akar kuat dari tradisi Ahlusunnah wal Jama’ah, yang ditanamkan cukup lama, namun secara jam’iyah NU di Kota Bandung banyak yang mengistilahkan “Wujuduhu ka adamihi”/ adanya seperti ketiadaanya atau istilah lain “ Layamutu walahaya ” / tidak mati dan tidak pula hidup, Istilah-istilah semacam ini sudah sering dinarasikan sejak lama, oleh para tokoh pesantren yang merasa gelisah dan prihatin terhadap keberadaan jam’iyah NU di Kota Bandung.
Alih-alih mengalami pasang surut secara gairah berjam’iyah, keberadaan jam’iyah NU di Kota Bandung meski untuk tidak dibilang mati, keberadaannya cukup penting terutama dalam menjaga kekuatan moderasi agama, Pancasila, UUD 45, dan demokrasi di Indonesia, di banding dengan ormas Islam lain yang modernis, NU meski dari akar tradisonalis, akan tetapi jauh lebih terbuka dan selalu menjadi arus utama dalam menjaga kedaulatan bangsa Indonesia, terutama selalu menjadi araus utama dalam memerangi kelompok radikal.
Oleh sebab itu konfercab NU ke 19 yang akan segera digelar itu harus mampu melahirkan pemimpin yang progresif, populis, tidak elitis, juga strategis, dan mampu melahirkan keputusan-keputusan yang hebat untuk NU Kota Bandung dan kemajuan warganya serta kebaikan bagi umat Islam, lebih jauh kebaikan bagi Indonesia. Ada banyak orang menganggap bahwa kelompok muslim-muslim modern lebih dinamis dan secara intelektual lebih menarik di banding kepemimpinan tradisionalis, namun sangkaan itu kurang tepat.
Kata seoarang Antropolog Martin Van Bruinessen (1994:12) justeru kelompok muslim modern itu tidak merupakan pemikir muslim paling progresif di Indonesia. Menurutnya kelompok modernis jauh lebih jumud memegang sebuah prinsif taklid yang sangat kaku kepada tokoh-tokoh mereka seperti kepada Hasan al-Banna, Sayid Qutb, dan Abu Ala al-Maududi, ketimbang sikap taklid orang-orang tradisional (baca; kiai-kiai NU) kepada imam madzhab yang empat. Bagi Bruinessen, justeru ia seringkali bertemu dengan orang-orang muda berlatar belakang pesantren yang secara intelektual berpikiran lebih terbuka dan lebih kritis ketimbang kebanyakan kelompok modemis.
Konfercab NU Kota Bandung ke 19 tahun ini, harus dijadikan memontum yang baik untuk bisa melahirkan sosok pemimpin yang menyegarkan kembali kebesaran NU di Kota Bandung tentu dengan semangat zamannya. Progresif dan mendobrak kemandegan dalam ketidak normalan merupakan suatu keniscayaan harus dilakukan, sebagai mana Martin Van Bruinesen katakan di atas, bahwa progresif, kritis, dan terbuka merupakan yang sering ditemukan pada kelompok muslim modernis, tesis itu tidak tepat. Justeru bagi para kaum tradisi seperti NU mereka justeru jauh lebih progresif, ktiris dan terbuka di banding kelompok modernis.
Oleh karenanya akan menjadi heran, jika kepemimin NU yang akan datang cenderung pasif, statis, elitis bahkan sangat konservatif dalam melakukan perbaikan terhadap perkumpulan NU di Kota Bandung ini. Prinsif dasar ini harus menjadi pegangan yang sangat mendasar bagi siapa saja yang akan memimpin NU Kota Bandung mendatang.
Maka dengan demikian Konfercab ke 19 mendatang harus mampu melahirkan sosok pimpinan Syuriyah-Tanfidziyah yang tidak pasif, tapi aktif dan progresif serta taat asas terhadap qanun asasi dan perkum yang sudah digariskan Nahdlatul Ulama. Para kiai yang dijadikan patron dalam tradis NU tersebut harus diberikan keleluasaan dan menjadi arus utama dalam mengatur ke luar maupun ke dalam. Sehingga eksistensi Syuriyah berada pada track yang telah diletakkan AD-ART NU, kewenangannya tidak diamputasi, hanya sebatas pemimpin mantra-mantra doa, tahlil , tawasul dan istigosah. Rois Syuriyah dijadikan pemimpin tertinggi sabagaimana ditegaskan dalam AD-ART NU dan memiliki kewenagan strategis dalam memajukan NU yang diartikulasikan jajaran petinggi Tanfidziyah dengan progresif dan massif.
Tentu dalam mengesekusi kebijakan pemimpin tertinggi tidak ugal-ugalan seperti sopir angkot, karena NU sudah punya rel seperti track kereta api, dengan demikian pengurus NU di Kota Bandung dari tingkat atas sampai bawah akan selalu taat asas. Seperti yang termaktub dalam AD-ART dan Perartuaran Perkumpulan (Perkum) Nahdlatul Ulama.
Bahwa menjadi NU dalam Bunyi Pasal 1 Ketentuan Umum (Perkum) yang menyebut ;1. “Pengurus Nahdlatul Ulama adalah perangkat yang menjalankan aktivitas Perkumpulan Nahdlatul Ulama di suatu wilayah pada masa khidmat tertentu, yang terdiri atas pengurus yang memiliki jabatan, bidang kerja, tugas, wewenang, dan tanggung jawab, serta memperoleh pengesahan dalam bentuk surat keputusan. 2. Anggota Nahdlatul Ulama adalah setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam, berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah, dan menyatakan diri setia terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama serta terdaftar sebagai anggota.” Kutipan perkum ini sangat gamblang, bahwa taat asas bagi seorang pengurus NU merupakan suatu yang tidak bisa ditawar lagi.
Memajukan dan menyegarkan eksistensi Jam’iyah NU di Kota Bandung pada masa sekarang, memang bukan perkara yang mudah, namun bukan pula suatu yang sulit untuk dilakukan, ini hanya soal keberanian dan pengorbanan serta kekompakan para kader Nahdliyin di Kota Bandung.
Oleh sebab itu, untuk tidak menyebut penulis menggurui kepada para panitia Konfercab kali ini, mereka harus benar-benar dan sungguh mengadakan perhelatan akbar tersebut satu frekuensi dengan asas-asas aturan yang telah ditetapkan AD-ART dan Perkum Nahdlatul Ulama serta satu tarikan nafas dengan kebijakan-kebijakan PBNU. Ini menjadi penting, karena perhelatan tersebut selain akan melahirkan pemimipin baru, juga sekaligus akan menentukan nasib maju dan mundurnya Jam’iyah NU di Kota tercinta ini. Wallahu ‘alam.
Oleh : WS Abdul Aziz (Katib MWCNU Cicendo Kota Bandung)