DPRD Jabar Menolak Terkait Wacana Kebijakan “FUll Day School”

Sekolah JabarBANDUNG BB.Com– DPRD Provinsi Jawa Barat mengusulkan wacana ‘full day school’ yang diusulkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dikaji terlebih dahulu. Ini penting agar kebijakan tersebut tak berdampak negatif terhadap anak.

Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat, Syamsul Bachry menolak wacana kebijakan “full day school” tersebut. Pasalnya, keberhasilan pendidikan tidak dicirikan berapa lamanya jam belajar disekolah melainkan efektifitas penyampaian materi pendidikan terhadap peserta didik.

“Dengan tegas saya menolak rencana mendikbud itu, kuncinya kan sejauhmana materi pembelajaran dapat diterima siswa dengan baik dalam waktu yang relatif singkat,” ujar Syamsul diruang kerjanya, Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro no. 27, Kota Bandung, Kamis (11/8/2016).

Dia menambahkan, seharusnya sebelum mempublikasikan terkait wacana tersebut dikaji terlebih dulu dampak negatif dan positifnya. Jangan sampai menimbulkan kekhawatiran kepada publik dengan diiinformasikannya kebijakan tersebut meski baru wacana. Sebab, penerimaan masyarakat tentu akan beragam reaksinya. Sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kegaduhan akibat rencana kebijakan tersebut. Padahal, lebih obyektif jika regulasi dunia pendidikan dapat menciptakan suatu metode yang tepat.

“Kenapa tidak dicari selain kebijakan kontroversial itu dengan metode pemadatan atau apapun yang dapat mempercepat penyerapan materi pendidikan disetiap level sekolah,baik sekolah umum maupun pesantren,” katanya.

Syamsul mencontohkan, beberapa tahun lalu ada kurikulum yang menerapkan keseimbangan dalam materi pelajarannya. Sekolah umum dilengkapi dengan materi muatan lokal dan agama. Begitupun sebaliknya sekolah agama yang dilengkapi dengan materi pelajaran sekolah umum.

“Sehingga indikatornya dapat seimbang dengan tujuan dan target program pemerintah,” tegasnya.

Di tanya soal profil Mendikbud hasil reshuffle Kabinet Kerja di era Presiden Joko Widodo, politisi PDI-Perjuangan tersebut tidak relevan antara kepemimpinan dengan kebijakan menterinya. Sebab, para menteri tidak serta merta kebijakannya dapat selalu dibenarkan secara konstitusional.

“Artinya, meskipun Presidennya satu partai dengan kami, kan kebijakan menterinya juga bukan sebagai agen kebenaran,” tandasnya. (dp)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *